Arsip

BUKU: Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi

Foto ilustrasi dalam buku. Foto: IST/ruai.tv
Advertisement

Apa Kabar Sagu?

Bagaimana mencintai Papua? Pemikiran Charles “Chato” Toto, seorang Jungle Chef kelahiran Papua, menarik dicermati. Chato bilang, persoalan di Papua seharusnya dapat diselesaikan melalui makan bersama. Pemikiran ini muncul dari pengalamannya melalangbuana ke berbagai tempat.

Dia menemukan suatu keprihatinannya, setelah kembali dari melanglang buana. Prihatin karena masyarakat Papua tidak lagi mencintai sagu. Padahal, sagu bahan pangan asli Papua.

Saat ini, masyarakat di situ lebih memilih makan raskin (beras miskin), pembagian pemerintah melalui Bulog. Bagi Chato, sagu adalah ibu kehidupan. Sebab dari pohon inilah kehidupan masyarakat Papua berasal.

Advertisement

Selain untuk bahan pangan, bahan pembuatan noken bisa berasal dari dari pohon sagu. Juga bahan tiang rumah, serta untuk material pemelihara air. Hutan Papua sungguh supermarket maha lengkah.

Beban Sejarah

Tapi tak selalu cerita indah. Kisah masa lalu bernuansa sejarah yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menyinggung soal sejarah sangat mungkin mengundang berbagai reaksi, termasuk nada suara yang meninggi.

Tapi, kalau bayangan masa lalu masih menjadi beban, maka jalan tak akan mantap. Kepala tak akan tegak. Sejarah di Papua sering hanya dimaknai proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Padahal banyak peristiwa sejarah tidak dapat dilepaskan dari cinta yang pernah terjalin antara pemimpin Papua dan Indonesia di masa lalu.

Cover buku: Jejak Cinta di Papua/IST/ruai.tv

Silo Karno (Sukarno) Doga, misalnya, adalah nama daerah dan sekaligus situs sejarah yang menjelaskan keeratan hubungan antara Soekarno, Presiden Republik Indonesia dan Silo Doga, Kepala Suku Besar yang mengepalai aliansi perang suku Dani di Lembah Baliem.

Nama Soekarno diselipkan antara “Silo” dan “Doga” pada 1960 ketika Kepala Suku itu bertemu Presiden Soekarno dalam rangka Pepera. Sebagai penghormatan, keturunan Doga mendirikan patung Silo Sukarno Dago di Jayawijaya, Wamena.

Buku ini terdiri dari 41 Bab yang terbagi atas empat episode, “Menapaki Jalan Cinta, Dari Gajah Turun Ke Hati, Pahit Manis Kopi Papua dan Menyusuri Jalan Cinta”. (HEP)

*AM Putut Prabantoro, Alumnus Lemahannas PPSA XXI dan Taprof Lemhannas RI Bidang Ideologi dan Sosial Budaya.

Advertisement