Arsip

OPINI: Propaganda Media yang Menggelisahkan

cara media memberitakan pandemi - media ilustrasi - glenn-carstens-peters-P1qyEf1g0HU-unsplash
Ilustrasi: unsplash.com
Advertisement

Oleh: A. Panca Esti W

PADA awal masa pandemi Covid-19 pada Maret 2020, khalayak Indonesia dikejutkan dengan berita tentang pasien pertama Covid-19. Hampir seluruh media massa membuat berita tersebut. Koran-koran dan portal media cetak menulisnya menjadi headline. Radio dan televisi bahkan menyiarkan langsung saat menteri kesehatan dan jajarannya menyampaikan konferensi pers secara nasional.

Sehari setelah konferensi pers tersebut dimulailah serangkaian konferensi pers berisi jumlah peningkatan pasien, dirawat di rumah sakit, data kesembuhan dan meninggal dunia. Hampir semua mata tertuju kepada angka tertular dan data meninggal dunia. Berita di media sosial turut ramai dengan memberitakannya berulang-ulang, dengan berbagai narasi menakutkan.

Advertisement

Selama lebih setahun angka pasien tertular dan meninggal selalu muncul setiap hari, menjadi tontonan wajib, mencipta diskusi “kritis menakutkan”. Tak dipungkiri, angka-angka “mengerikan” tersebut menjadi propaganda menggelisahkan masyarakat.

Baca juga: OPINI: Memahami Istilah Pandemi

Dari rangkaian peristiwa diatas, hal yang hampir tidak pernah diperbincangkan masyarakat adalah angka yang sembuh. Barangkali hanya dokter dan rumah sakit yang tertarik membahasnya. Walaupun data kesembuhan itu selalu tersaji, tetapi seakan tidak menarik untuk dibahas. Orang tidak lagi tertarik dengan hal kesembuhan, perbaikan, dan rekonsiliasi.

Mengejutkan, Bergidik, dan Ngeri

Sebelum era pandemi telah lama pemberitaan media menampilkan data kerusakan, kerugian, bahkan meninggal dunia menjadi daya tarik utama. Memang benar salah satu hal yang mengejutkan, bergidik, dan ngeri membuat orang penasaran. Ingin tahu dan selalu bertanya-tanya.

Setiap ada peristiwa kecelakaan hal yang selalu ditanyakan adalah jumlah korban dan kerugian. Pertanyaan terakhir yang ingin diketahui-jika ingin-adalah berapa korban yang selamat.

Berita-berita yang didasari keyakinan “bad news is good news” digemari para jurnalis sebagai daya tarik pembaca atau penonton. Rasa penasaran penikmat informasi terus dimanja dengan demi jumlah dan rating.

Baca juga: GALERI FOTO: Perupa Kalimantan Barat, Merangkai Warna Khatulistiwa

Pada dasarnya sifat manusia menyukai hal yang menantang, mengerikan, menakutkan sebagai zat adiktif pikirannya. Hal berbau kecemasan menjadi salah satu respon naluri bertahan hidup manusia. Hal itu memang yang menjadi motivasi, tenaga yang kuat untuk penyelamatan dan bertahan hidup. Kecemasan dan ketakutan menjadi kesadaran dan tanggung jawab untuk memberi pilihan.

Tetapi yang perlu disadari ialah ketika motivasi sudah melampaui kemampuan dan motivasi maka kemudian yang timbul adalah kecemasan berlebihan yang cenderung emosional. Menciptakan kegelisahan dan akhirnya membuat kecurigaan multi pikiran.

cara media memberitakan pandemi - media ilustrasi - glenn-carstens-peters-P1qyEf1g0HU-unsplash
Ilustrasi: unsplash.com

Bad News is Good News?

Saat hubungan sosial sudah sedemikian curiga yang terjadi perseteruan dan konflik. Bisa jadi perang umat manusia yang terjadi di belahan Eropa Timur juga akibat propaganda ala “bad news is good news”.

Pada era digital saat ini informasi sudah sedemikian deras. Tak pelak, kebanjiran informasi memaksa orang mengolahnya lebih keras. Bisa dibayangkan ketika kegelisahan dan ketakutan membanjiri pikiran. Waktu untuk menepikan diri dari kegelisahan dengan menampung informasi yang menonjolkan kemanusiaan semakin sedikit. Ketika pilihan itu yang diambil, maka akan dihadapkan dengan sajian informasi yang kembali menampilkan kegelisahan.

Sebagai salah satu pilar demokrasi bangsa, pers memiliki tanggungjawab mencerdaskan masyarakat. Dan dalam melakukan fungsinya pers nasional memiliki Kebebasan berdasarkan kepada Kode Etik Jurnalistik sebagai pedomannya. Fungsi mencerdaskan dan kontrol sosial menjadi tujuan penting produk jurnalistik.

Baca juga: FOTO: Merekam Cantiknya Bulan

Ketika produk jurnalistik menghasilkan manusia yang sangat humanis sudah tentu akan menciptakan tatanan sosial tanpa kegelisahan yang berlebihan. Sangat penting menjadikan jurnalistik yang mendekat pada kemanusiaan, kebudayaan adil dan ekonomi yang membangun.

Ada baiknya muara produk jurnalistik adalah: Kemanusiaan, mendekati keadilan, mendorong kemajuan ekonomi.

Kemanusiaan berarti memberikan informasi yang mendukung daya hidup, meningkatkan aktivitas kesehatan, serta menjauhi ketakutan. Penyajian yang mengutamakan keselamatan daripada kengerian. Motivasi untuk membagikan kehidupan dengan menampilkan kemauan untuk membantu sesama, tidak menghakimi. Jika harus menampilkan data kerusakan sebagai bagian dari fakta, tidak menjadi paragraf utama apalagi judul headline.

Mendekati keadilan yaitu mestinya informasi tidak mengarahkan kecurigaan kepada pihak lain. Paling tidak meminimalisir keinginan menghakimi atau mendukung salah satu pihak. Di tengah maraknya berita hoak, sangat mudah menciptakan sudut pandang berita dari salah satu pihak saja.

cara media memberitakan pandemi
Ilustrasi: unsplash.com

Tidak Membuat Kepanikan

Media mainstream atau media dengan prinsip pers yang sehat perlu menyajikan produk informasi yang berimbang, sebagai produk berita yang menjadi pembanding informasi yang banyak beredar terutama dari sosial media.

Mendorong kemajuan ekonomi yaitu seiring dengan kebutuhan dasar manusia. Sekaligus hal yang paling sering menjadi sumber perselisihan. Dengan memberikan informasi yang menciptakan peluang-peluang yang membangun dengan tidak membuat kepanikan pasar, menakut-nakuti masyarakat. Serta memperbanyak tulisan tentang keberhasilan para penyintas pandemi yang berhasil mandiri, bahkan mampu berkembang menjadi sumber ekonomi baru. Kreatifitas dalam mengatasi kesulitan dalam masa-masa sulit.

Baca juga: WFH, Bekerja dari Rumah, Bagian Strategi Hadapi Pandemi

Pada dasarnya otak manusia selalu cenderung berpikir positif. Walaupun secara alamiah manusia selalu berusaha mencari jalan keluar yang positif dari berbagai persoalan, namun stimulasi negatif membuatnya membuat akternatif pelarian. Penyelamatan diri yang cenderung gelisah dan emosional.

Berbagai penelitian membuktikan melihat berita negatif yang terus menerus, sebagai contoh berita tentang Covid 19 di masa pandemi, respon tubuh akan menjadi lebih gelisah. Respon detak jantung akan lebih cepat yang mengakibatkan cepat lelah dan menurunnya daya tahan tubuh.

Tinggal bagaimana kita mau memilih berita. Selalu khawatir akibat berita buruk, dapat berakibat buruk juga bagi kesehatan. Atau memilah-milah dan cenderung menikmati berita positif dan panjang umur.

* Penulis adalah pengamat media massa, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tinggal di Kota Pontianak.

Advertisement