Arsip

Terkait Lahan di Parit Baru, Dua Kelompok Saling Klaim Dalam Satu Wilayah

Ketua LBH Majelis Adat Dayak Kalimantan Barat, Yohanes Nenes, SH sedang menunjukan SHM milik Klaennya di Lokasi lahan yang saat ini saling . (Foto/ruai.tv)
Advertisement

KUBU RAYA, RUAI.TV – Perselisihan kepemilikan lahan di kawasan Jalan Paris, Haji Muksin 2, Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, kembali mencuat.

Lahan seluas kurang lebih 3 hektare kini menjadi titik tarik-menarik antara pemilik yang mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) dan kelompok masyarakat yang mengklaim sebagai tanah adat atau tanah ulayat.

Ketua LBH Majelis Adat Dayak Kalimantan Barat, Yohanes Nenes, SH, menyampaikan bahwa kliennya telah mengantongi tiga sertifikat resmi atas lahan tersebut sejak 2013. Sertifikat tersebut, menurutnya, sah secara hukum dan telah melewati proses pengukuran serta pengembalian batas oleh instansi berwenang.

Advertisement

“Klien kami memegang bukti kepemilikan yang valid. Namun saat ini, lahan itu di duduki oleh dua kelompok yang berbeda tanpa izin,” ungkap Nenes, Jumat 27 Juni 2025.

Ia menyebut, salah satu kelompok membangun rumah semi permanen di atas lahan tersebut. Sementara kelompok lainnya, menurutnya, melakukan pengkaplingan dan penjualan kepada masyarakat dari berbagai daerah, khususnya warga adat Dayak dari Kota Pontianak dan Kabupaten Landak.

LBH Majelis Adat Dayak telah melaporkan persoalan ini ke Polda Kalimantan Barat sejak Januari 2024 dengan nomor laporan STTLP/B/14/I/2024/SPKT/POLDA KALIMANTAN BARAT. Proses hukum masih berjalan di tingkat penyidikan.

“Kami berharap pihak kepolisian dapat segera memberikan kepastian hukum agar persoalan ini tidak berlarut-larut,” kata Nenes.

Gambar: Lokasi lahan di Jalan Paris, Haji Muksin 2, Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya yang saat ini masuk dalam saling Klaim antara Kelompok warga dan Klaen LBH MAD Kalbar. (Foto/Ist)

Sebagai upaya pencegahan, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pemerintah desa agar tidak menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atas lahan yang tengah disengketakan tersebut. Ia juga mengimbau warga untuk berhati-hati dan tidak gegabah dalam membeli lahan yang status hukumnya belum tuntas.

Namun, perwakilan masyarakat bernama Saamin menyampaikan keterangan berbeda. Ia menyebutkan bahwa lahan yang saat ini di kuasai oleh sekitar 400 petani merupakan tanah ulayat atau adat yang dahulu di serahkan oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan kepada kelompok tani di wilayah Bumi Raya.

“Tanah itu berasal dari hutan adat, sudah kami kelola sejak lama, dan sudah dijelaskan ke pihak kepolisian. Tidak ada masalah menurut kami,” jelas Saamin, Minggu 29 Juni 2025.

Ia juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mempertegas pengakuan terhadap keberadaan hutan adat. Berdasarkan data yang diklaim, tanah tersebut juga pernah tercatat dalam register Nomor 054 tahun 1992 yang di tandatangani oleh Ketua Majelis Adat Dayak saat itu.

Saamin mengakui adanya tumpang tindih sertifikat di lokasi tersebut dan menyebut perbedaan luasan menjadi salah satu penyebab simpang siurnya kepemilikan.

Situasi ini menggambarkan kompleksitas dalam pengelolaan lahan antara aspek legal formal dan pengakuan terhadap tanah adat.

Semua pihak di harapkan menghormati proses hukum dan menjaga situasi agar tetap kondusif sambil menunggu penyelesaian yang adil dan bijaksana.

Advertisement