Arsip

Rizal Ramli: Zaman Gus Dur Rakyat Dibela, Pemerintahnya Kreatif dan Inovatif

Advertisement

PONTIANAK – Mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Industri era Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Rizal Ramli mengatakan konflik agraria gampang terjadi karena pemerintah tidak sungguh-sungguh mengakui hak adat maupun tanah milik rakyat.

Karena itu, mantan anggota tim panel penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang karib disapa RR ini menegaskan bahwa apa pun akan dilanggar pemerintah untuk kepentingan investor.

“Jadi, ini tidak adil dan tidak benar,” kata Rizal dalam webinar Ngopi Bareng RR Edisi V bertajuk “Konflik Agraria di Tengah Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi Corona, Apa Jadinya?”, Jumat (4/9).

Advertisement

RR mengatakan solusinya tidak terlalu sulit bila pemerintah betul-betul mengakui tanah adat, rakyat dan masyarakat, baik yang sudah punya sertifikat atau hanya girik atau batasan-batasan yang ditentukan adat.

RR bercerita soal pengalamannya saat menjadi menteri di era Gus Dur. Menurut Rizal, filosofi yang diterapkan Gus Dur kala itu adalah bila terjadi konflik antara orang besar dengan rakyat maka yang harus dibela adalah masyarakat. Sebab, kata dia, orang besar memiliki berbagai sumber daya, sementara rakyat sangat lemah. “Jadi, zaman Gus Dur itu kalau ada konflik rakyat sama yang besar maka kami berupaya membela rakyat,” cerita RR.

Namun, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi periode pertama Presiden Jokowi itu menyayangkan terkadang kepentingan investor dianggap lebih penting dari segala-galanya. Sementara, kata dia, kepentingan rakyat di-ignore atau dinomorsepuluhkan.

“Oknum-oknum penguasa dalam berbagai konflik juga terkesan selalu berpihak kepada investor, yang besar-besar, tidak ada keinginan melindungi rakyat dan memberikan keadilan,” kata RR.

Menurut RR, banyak persoalan yang harus dibenahi terkait masalah agraria ini. Dia mengingatkan, apa gunanya kemajuan dan pembangunan kalau yang menikmati yang besar-besar atau investor. Sementara rakyat tidak dapat manfaat dari lingkungan dan tanahnya. “Lingkungan dirusak, tanahnya diambil paksa,” tegasnya.

RR mengatakan seharusnya dalam sistem normal rakyat bisa negosiasi dengan investor apakah mau dijual atau tidak, dan mendapat kompensasi dari pengambilalihan tanah. “Praktiknya, hak rakyat tidak diakui, dan sangat murah atau tidak masuk akal,” kata dia.

RR mengatakan pemerintah pun harus kreatif mencari solusi. Hal itu pernah dilakukannya saat menjabat menko ekuin era Gus Dur. RR bercerita, kala itu dunia, salah satunya Jerman, tengah mengkritik persoalan perubahan iklim. Lantas RR bertemu dengan menteri keuangan Jerman. RR kala itu mengatakan Jerman jangan cuma mengkritik, tetapi harus mencari win-win solution.

“Jadi, saya tawarkan utang dibayar hutan. Kamu kurangi utang Indonesia USD 300 juta, kami beri 300 hutan di Kalimantan sebagai daerah konservasi yang tidak bisa diapa-apakan,” kata dia.

Menurut RR, ini merupakan win-win solution. Buat Jerman, kata dia, ini bagus karena bisa menjadi kampanye negara tersebut kepada rakyatnya bahwa mereka telah membantu memelihara paru-paru dunia di Kalimantan. Sementara untuk Indonesia, kata RR, utang bisa dikurangi.

“Menkeu Jerman setuju dan dilakukanlah enam kali. Akhirnya kami sepakati, hutan konservasi ditukar dengan utang dan berhasil. Namun, karena Gus Dur jatuh, hal itu tidak berlanjut lagi sampai sekarang,” jelas RR.

Nah, kata RR, sebenarnya hal ini masih relevan diterapkan sekarang. Terlebih lagi, hari ini makin banyak dunia yang sadar tentang pentingnya lingkungan hidup. Pemerintah, lanjut RR, bisa menguragi beban utang Indonesia dengan negosiasi sejenis.

“Kalau AS, Trump, mungkin tidak tertarik, tetapi Jerman, Perancis, Jepang dan lainnya banyak yang tertarik. Misalnya, kami katakan akan konservasi 1,2 juta hektar tetapi utang dikurangi USD 10 miliar atau USD 20 miliar,” kata RR.

Sekali lagi, ia menegaskan, ini bisa dilakukan bila pemerintah inovatif, berani dan kreatif.

“Hari ini malah makin relevan supaya kita bisa jaga lingkungan, hutan terpelihara, dan memberikan sumbangan oksigen besar sebagai paru-paru dunia,” ujar RR.

Kepala Desk Politik Walhi Indonesia Khalisah Khalid mengatakan saat ini Indonesia tengah menghadapi satu potret buram terkait pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup. Dia menjelaskan, konflik, krisis lingkungan, krisis pangan akibat pandemi Covid-19, merupakan akumulasi dari kegagalan paradigma ekonomi dan pembangunan.

“Politik ekonomi global dan Indonesia yang menganut paradigma growth, merupakan paradigma ekonomi yang gagal karena melahirkan krisis dan konflik agraria,” kata dia dalam kesempatan sama. “Bahkan, di masa pandemi, konflik terus terjadi,” tegasnya.

Khalisah mengatakan seharusnya pandemi Covid-19 menjadi alarm buat pengurus negara bahwa kebijakan ekonomi global yang juga dianut Indonesia sebenarnya terbukti telah gagal.

“Paradigma growth yang kejar pertumbuhan terbukti gagal dan mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan ekonomi di Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN setelah Thailand. Konflik agraria kita juga tinggi,” kata dia.

Menurut Khalisah, pandemi Covid-19 seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi dan melihat narasi-narasi alternatif ekonomi lain. “Yang bisa menjadi pijakan pembangunan ekonomi ke depan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Hartono mengatakan bahwa dari 15 juta hektar lebih atau 80 persen lebih lahan di Kalteng telah dikuasai industri atau pemodal berskala besar. Karena itu, kata dia, ketika masyarakat mempertahankan haknya, sanggahan pun terjadi dari pemerintah.

“Ini menyebabkan mereka susah atau dihalang-halangi dalam proses bersuara terkait apa yang terjadi di wilayahnya,” kata Dimas dalam kesempatan itu.

Dimas mengatakan Walhi sudah menyuarakan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan meminta pemerintah maupun parlemen melakukan audit lingkungan. Namun, dia menyatakan keberanian pemerintah tidak ada.

“Karena hingga detik ini evaluasi perizinan, audit lingkungan, penegakan hukum yang tidak tajam di masyarakat tetapi di pemilik modal, tidak pernah dilakukan. Padahal, peran itu ada di pemerintah dan legislatif,” katanya.

Dimas yakin banyak kepala daerah dan pemimpin memiliki hati untuk kepentingan masyarakat. Namun, ujar Dimas, karena sistem yang ada membuat hati mereka tertutup.

“Kami bersama komunitas dan masyarakat terus menyuarakan kondisi terjadi di wilayah masing-masing. Harapan kami pemerintah juga bergerak dan bertindak,” katanya. (Red).

Advertisement