PONTIANAK, RUAI.TV – Sejumlah penggiat lingkungan, jurnalis, dan akademisi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak Pengadilan Negeri Sintang untuk menjatuhkan pidana yang setimpal kepada dua terdakwa kasus perdagangan 337, 88 Kg sisik trenggiling, Budiyanto dan Adrianus Nyabang, pada sidang putusan yang rencananya digelar Senin, 1 April 2024.
Pasalnya, kasus tersebut telah menjadi atensi bersama. Di mana praktik pembataian satwa pemakan semut yang dilakukan secara besar-besaran itu dapat menimbulkan hilangnya keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya.
Teguh Yuwono, ahli kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dihadirkan dalam sidang yang digelar pada 12 Februari 2024 menyebutkan, untuk mengumpulkan 337,8 Kg sisik trenggiling, jumlah trenggiling yang dibunuh mencapai 2.000 ekor.
“Untuk bisa mengumpulkan sebanyak itu, ada sekitar 1.360 sampai 2.000-an ekor (yang dibunuh),” kata Teguh yang juga dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada itu.
Menurut dia, angka tersebut didasari oleh perhitungan bahwa satu kilogram sisik perlu disuplai oleh jasad empat sampai enam ekor trenggiling.
Teguh Yuwono menyebutkan, trenggiling menjadi sasaran yang sangat rentan bagi pemburu karena bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan.
Pertama adalah sisik trenggiling. Bagian tubuh tersebut merupakan bahan dasar untuk membuat narkoba, terutama sabu-sabu.
“Kalau kita bicara kasus 337,8 Kg sisik trenggiling, dan kalau itu jadi sabu-sabu, berapa ribu generasi muda yang dikorbankan,” ujar Teguh.
Kemudian, lanjut Teguh, dagingnya juga dianggap dapat menjadi obat. Menurutnya, di pasar lokal, harga satu kilogram daging trenggiling antara Rp500 ribu. Sedangkan untuk pasar internasional seperti Tiongkok dan Taiwan, harga satu kilogram daging trenggiling mencapai Rp1,9 juta.
Kerentanan ini tidak berimbang dengan laju reproduksi trenggiling yang terbilang sangat lambat. Menurut dia, seekor trenggiling hanya dapat melahirkan satu ekor anak setiap tahunnya.
Selain itu, bentuk pertahanan trenggiling terhadap predator dengan menggulung dirinya justru membuatnya sangat mudah ditangkap manusia.
“Kalau buat predator mungkin itu jadi susah dimakan, lalu ditinggal, tetapi buat manusia malah tinggal bawa karung, lalu dimasukkan,” katanya.
Menurut Teguh, turunnya populasi trenggiling berpotensi menaikkan jumlah serangga hama bagi manusia. Hal ini berhubungan dengan pakan utama trenggiling yang berupa semut dan rayap.
Sementara itu akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Hari Prayogo menilai, maraknya kasus perburuan dan perdagangan sisik Trenggiling di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap status konservasi trenggiling masih sangat minim.
Padahal, trenggiling merupakan satwa yang terancam punah. Pemerintah telah melakukan perlindungan penuh, yakni memasukkan satwa ini ke dalam perlindungan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 dan Permen LHK Nomor P.106 tahun 2018.
Bahkan, Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN) juga sudah melindungi dengan kategori Critically Endangered setelah sebelumnya memiliki status endangered dan CITES telah memasukkannya ke dalam kriteria Appendix I. Artinya suatu satwa yang boleh diperjualbelikan pada saat keadaan luar biasa dan memerlukan perizinan ekspor dan impor yang sangat ketat.
Sejumlah fakta menunjukkan, kasus kejahatan satwa liar terdahulu yang tertangkap kemudian diadili umumnya divonis cukup ringan, tidak memberi effek jera.
Berdasarkan data jumlah kasus yang dihimpun dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) selama tahun 2022 hingga 2023, setidaknya ada 15 kasus yang disidangkan. Dari 15 kasus tersebut putusan atau vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim rata-rata cukup ringan, yakni antara 4 bulan hingga 28 bulan.
Padahal, sanksi atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE), pelaku diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp100 juta.
Menurut Hari, perburuan massif terhadap satwa trenggiling tersebut akan menghilangkan sumber plasma nutfah, mengganggu keseimbangan ekosistem hutan hujan dataran rendah, dan mengganggu kestabilan rantai ekologis di wilayah hutan.
Trenggiling, Si Manis yang Bernasib Tragis
Trenggiling merupakan mamalia pemakan serangga, terutama semut dan rayap, oleh karena itu kenal sebagai anteater (pemakan semut). Nama trenggiling berasal dari Bahasa Melayu yakni mengguling atau guling yang berarti menggulung atau melingkar seperti bola.
Fakta menarik trenggiling adalah satu-satunya mamalia yang tubuhnya tertutupi oleh sisik. Mereka termasuk hewan yang senang menyendiri dan cenderung aktif di malam hari. Umumnya, trenggiling bersarang di dalam tanah yang digali menggunakan cakarnya.
Selain untuk menggali sarang, cakar mereka juga digunakan untuk membongkar sarang semut dan rayap. Trenggiling dapat memakan hingga 70 ton semut dan rayap per tahun.
Trenggiling juga dikenal sebagai pengendali hama natural. Kebiasaan trenggiling menggali tanah untuk membuat sarang ini sangat berguna untuk membantu menggemburkan tanah karena membuat tanah menjadi teraduk dan teraerasi. Hal ini tentunya menguntungkan bagi para petani.
Trenggiling memiliki mekanisme mempertahankan diri yang cukup unik. Mereka akan menggulung diri menjadi bola sehingga sisik keras yang menutupi tubuh akan melindungi mereka dari terkaman atau cakaran predator.
Namun sayang sekali, pertahanan diri itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari para pemburu dan malah mempermudah mereka untuk diambil. Ketika trenggiling menggulung badannya, pemburu hanya perlu mengangkat dan memasukkan mereka ke dalam wadah karena trenggiling tidak memberikan perlawanan lain.
Ada delapan spesies trenggiling yang tersebar di seluruh dunia; empat spesies ditemukan di Afrika, dan empat lainnya ditemukan di Asia. Salah satu spesies trenggiling yang paling dikenal adalah Manis javanica, yang mana paling banyak ditemukan di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat.
Menurut Hari Prayoga, keberadaan trenggiling kini semakin berkurang karena perburuan yang marak terjadi untuk mengambil sisik dan daging dari hewan ini. Sisik dan daging trenggiling diyakini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia.
Pemanfaatan sisik dan daging trenggiling sudah dilakukan cukup lama terutama di Cina. Sisik trenggiling dianggap sebagai salah satu bahan dasar untuk membuat obat tradisional yang mujarab. Sementara dagingnya dianggap sebagai makanan mewah yang hanya dapat dikonsumsi oleh kelas masyarakat tertentu.
Pada tahun 2016, semua spesies trenggiling dipindahkan dari Appendix II CITES ke Appendix I CITES.3 CITES adalah perjanjian multilateral untuk melindungi flora dan fauna yang terancam punah dari ancaman perdagangan internasional.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi perjanjian ini,” kata Hari.
International Union of Conservation Nature (IUCN) juga sudah menetapkan trenggiling sebagai satwa yang Terancam Secara Kritis (Critically Endangered), hanya satu tingkat lagi sebelum mereka memasuki status Punah di Alam (RED)
Leave a Reply