Askiman menjelaskan, peristiwa kepercayaan ini mengajarkan adanya pemeliharaan dari leluhur yang sudah meninggal, bagi manusia yang masih hidup. Setiap pantang tidak boleh dilanggar, karena akan berakibat buruk terhadap kehidupan.
“Sandung perlu dilestarikan dan dipelihara sebagai saksi sejarah peradaban Dayak Kebahan,” ujar Askiman.
Desa Lintak Tambuk di Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Sintang, menjadi situs budaya, adat dan sejarah agama Dayak Kebahan.
Baca juga: Sudah 15 Tahun, Ritual Nyabakng Tanpa Penerus
Dayak Kebahan percaya dengan leluhurnya yang pertama di muka bumi ini di Gunung Muncak, yaitu Abang Onyok, anak Raja Doa (dewa) melahirkan anak pertamanya Pati Paka. Dari sejak itulah muncul agama Dayak sesuai titah perintah dari Kayangan, dan akhirnya melahirkan seluruh bentuk acara ritual adat, hukum adat, budaya dan seni budaya yang berkembang sampai saat ini.
Askiman memaparkan, sandung bertiang satu menggunakan tiga buah tengkorak kepala manusia hasil kayau, atau satu kepala tengkorak manusia bisu. Jika bertiang dua menggunakan enam buah kepala tengkorak manusia, ditambah satu tengkorak hasil kayau bagi jenazah dan dibuat tunyuk langit yang bergambar burung di tengah bak sandung.
Baca juga: Tradisi Dayak Seberuang Panggil Semangat Padi
Tengkorak yang ditanam di bawah tiang sandung diyakini sebagai ulun atau pembantu bagi yang meninggal pada saat dia di surga. Surga disebut Sebayatn dalam dialek Dayak Kebahan.
Sedangkan tengkorak kepala yang disimpan ditunjuk langit itu sebagai ajudan untuk menerima perintah dari yang meninggal. Karena dialamnya sana, dia sebagai raja. Peristiwa inilah menciptakan perang suku yang berkepanjangan. (TRI/RED)
Leave a Reply