MANGGARAI, RUAI.TV – Gelombang penolakan terhadap proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di kawasan Hutan adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kian menggema.
Sepuluh komunitas adat di wilayah itu bersatu melaporkan proyek Geotermal kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan masyarakat adat, Albert Kwokwo Barume, dalam pertemuan adat yang digelar 7-8 Juli 2025 di Rumah Adat Gendang Tere, Desa Mocok, Kecamatan Satarmese.
Servasius Masyudi Onggal, pemuda adat Poco Leok, menyampaikan langsung laporan tersebut kepada PBB. Ia menegaskan, proyek Geotermal yang sudah berlangsung sejak 2017 tidak hanya mengabaikan persetujuan masyarakat adat, tetapi juga merusak sistem kehidupan yang telah dijaga selama ratusan tahun.
“Poco Leok itu di lingkari gunung, dan di dalamnya ada 14 kampung adat yang eksis jauh sebelum Indonesia merdeka. Kami punya lima prinsip dasar hidup yang disebut Lampek V: Gendang (komunitas), Lingko (kebun), Wae (mata air), Natas Labar (ruang sosial), dan Compang (altar leluhur). Geotermal mengancam semuanya,” tegas Servasius.
Menurutnya, proyek PLTP Ulumbu tahap ekspansi yang ditetapkan melalui SK Bupati Manggarai tahun 2022 mencaplok tanah adat di lima titik penting, termasuk pekuburan leluhur, sumber mata air, dan hutan adat. Ia menyebut hal ini sebagai “pelecehan adat besar-besaran”.
Warga Poco Leok sudah melakukan 27 aksi “jaga kampung” sebagai bentuk perlawanan, meski harus berhadapan dengan aparat keamanan hingga preman bayaran.
Mereka juga menolak manipulasi informasi yang di lakukan perusahaan dan media, yang kerap memutarbalikkan fakta dan memanipulasi forum-forum di luar kampung sebagai bentuk persetujuan warga terhadap proyek.
“Kami sudah di jadikan korban dari proyek rakus lahan dan air. Di sini, tanah dan air adalah ruang hidup kami yang tak bisa di pisahkan dari identitas adat. Jika salah satu di hilangkan, itu berarti memusnahkan kami,” ujarnya lantang.
Servasius juga mengungkapkan, sejak 2017 perusahaan sudah bebas melakukan survei, pengeboran, hingga pengambilan sampel di 63 titik tanpa sepengetahuan warga. Bahkan titik pengeboran itu berada di situs-situs sakral, kebun warga, dan makam leluhur.
Selain Poco Leok, sejumlah komunitas adat lain di NTT juga menyuarakan masalah serupa, seperti penguasaan tanah adat oleh perusahaan sawit, taman nasional, dan proyek bendungan serta tebu.
Mereka meminta PBB untuk menegur pemerintah Indonesia dan mendesak pencabutan seluruh izin proyek yang mencaplok tanah adat tanpa persetujuan komunitas.
Seruan masyarakat adat Poco Leok kepada PBB bukan sekadar bentuk penolakan, tetapi juga alarm keras terhadap potensi kerusakan lingkungan dan punahnya budaya lokal akibat proyek-proyek investasi yang mengabaikan hak-hak adat.
Pemerintah dan korporasi di tantang untuk menghentikan praktik perampasan ruang hidup yang mengorbankan masa depan komunitas adat.
Leave a Reply