PONTIANAK, RUAI.TV – Penetapan R sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Satreskrim Polresta Pontianak menuai bantahan keras dari tim kuasa hukum. Mereka menilai langkah penyidik terlalu tergesa-gesa, tidak sah menurut hukum, serta melanggar prinsip-prinsip KUHAP.
Penetapan tersangka terhadap R diumumkan oleh Polresta Pontianak pada Rabu (20/8/2025). Dalam prosesnya, R dipanggil untuk didengar keterangannya sebagai tersangka berdasarkan Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/395/VIII/RES.3.3/2025. Kuasa hukum menegaskan bahwa kehadiran klien mereka merupakan bukti kooperatif, bukan upaya menghindar.
“Klien kami datang memenuhi panggilan secara sah, namun justru ditangkap dan diperlakukan tidak adil. Unsur korupsi belum terbukti, analisis PPATK belum ada, tetapi penyidik sudah mengumumkan penetapan tersangka dengan gegabah. Ini prematur, cacat formil, dan penuh penggiringan opini,” tegas Heny Susanti Sumantri, Kuasa Hukum R, pada Kamis (21/8/2025).
Keberatan Ditolak, Klien Langsung Ditahan
Heny menjelaskan, meskipun R hadir secara patut, penyidik justru menerbitkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/219/VIII/RES.3.3/2025/Reskrim dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/184/VIII/RES.3.3/2025/Reskrim. Langkah ini dinilai seolah menggambarkan R tidak kooperatif, padahal faktanya berbeda.
“Ini jelas tindakan yang berlebihan. Kehadiran R seharusnya dihargai sebagai bentuk itikad baik. Namun penyidik justru memperlakukan seolah-olah ia melarikan diri,” ujarnya.
Bukti Belum Lengkap, Dasar Penyidikan Dipertanyakan
Menurut kuasa hukum, dasar penyidikan yang digunakan masih lemah. Beberapa surat perintah penyidikan, di antaranya SP.Sidik/57.a/VIII/RES.3.3/2025 tanggal 7 Maret 2025 dan SP.Sidik/57a/VIII/RES.3.3/2025 tanggal 4 Agustus 2025, disebut belum mampu membuktikan adanya unsur tindak pidana korupsi (TPK) sebagai dasar TPPU.
“Faktanya, unsur tindak pidana korupsi belum terbukti, sementara analisis PPATK sebagai instrumen resmi pelacakan transaksi keuangan pun belum ada. Jadi bagaimana mungkin klien kami ditetapkan sebagai tersangka TPPU?” kata Heny.
Kontradiksi dalam Pernyataan Penyidik
Kuasa hukum juga menyoroti pernyataan Kasatreskrim Polresta Pontianak dalam konferensi pers, yang mengakui bahwa laporan ke PPATK baru akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Ini kontradiktif. Jika bukti dari PPATK saja belum ada, maka penetapan tersangka TPPU jelas prematur. Bukti belum lengkap, tapi klien kami sudah divonis secara opini publik,” jelas Heny.
Pelanggaran Prinsip KUHAP dan Imparsialitas
Lebih lanjut, tim kuasa hukum menilai tindakan penangkapan terhadap R melanggar Pasal 17 KUHAP tentang syarat adanya bukti permulaan yang cukup, serta Pasal 28 ayat (1) dan (2) KUHAP tentang hak tersangka untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi.
Mereka juga mempertanyakan transparansi konferensi pers yang digelar kepolisian. “Kami ingin tahu siapa yang mengundang media, dan mengapa media diberi konsumsi nasi box. Kesan yang muncul seolah ada upaya menggiring opini publik agar klien kami dianggap bersalah,” ucap Heny.
Akan Tempuh Jalur Hukum
Atas berbagai kejanggalan tersebut, kuasa hukum menegaskan akan menempuh langkah hukum untuk melawan.
“Kami akan mengajukan pra peradilan, serta menyampaikan laporan resmi kepada Propam Polda Kalbar, Kadiv Propam Mabes Polri, Kompolnas, dan Ombudsman RI. Kami tidak tinggal diam melihat adanya penyalahgunaan kewenangan,” tandas Heny.
Kuasa hukum menegaskan kembali bahwa asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi, dan penetapan tersangka yang prematur dapat menciderai proses penegakan hukum yang berkeadilan.
Leave a Reply