PONTIANAK – Melalui siaran persnya, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) memberikan tangapan terkait penangkapan tokoh adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah Effendi Buhing, oleh aparat kepolisian.
Dalam siaran persnya, PGI menyampaikan “Kasus penangkapan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia terhadap seorang Ketua Adat Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah bernama Efendi Buhing diduga karena konflik agraria (wilayah adat) menjadi sorotan tajam masyarakat.
Belum lagi penangkapan tersebut menjadi viral dan gambaran dari sejumlah kasus serupa di berbagai daerah bahwa penguasaan lahan oleh pihak korporasi melalui jalur izin konsesi perkebunan atau pertambangan yang diberikan pemerintah telah banyak menimbulkan kegaduhan dan dampak yang berat bagi para pemilik hak ulayat.
Meski akhirnya Efendi dibebaskan setelah ditahan 24 jam, kasus itu menjadi gambaran penyelesaian-penyelesaian yang terjadi belum menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat adat dan sejumlah pihak yang berjuang untuk keadilan HAM dan ekologis.
Atas kejadian tersebut, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) perlu untuk menanggapi beberapa hal:
1. Setiap warga negara punya hak yang sama di hadapan hukum, termasuk untuk diperlakukan secara manusiawi dalam hal penangkapan yang sesuai dengan prosedur hukum.
2. Pemerintah diminta berpihak pada kelompok yang rentan, seperti komunitas masyarakat adat menjadi prioritas dibanding berpihak pada para pemilik modal yang dapat membeli aktor-aktor atau penguasa lainnya. Mendesak agar dilakukan pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan yang menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksejahteraan masyarakat, serta kerugian lainnya, adalah bentuk keberpihakan sebenarnya.
3. Perampasan wilayah adat dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Laman Kinipan harus dihentikan, demikian pula di wilayah-wilayah yang mengalami kasus serupa.
4. Pemerintah melalui kepolisian setempat harus menjamin keselamatan dan kedamaian pada komunitas masyarakat adat yang berjuang untuk hak-haknya pasca kejadian penangkapan dan penangguhan penahanan tersebut. Konflik horizontal antara kelompok masyarakat yang kontra dan pro terhadap perusahaan akan dapat memuncak sewaktu-waktu.
5. Untuk menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat ke depan, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang selama ini telah diharapkan dan dikawal oleh banyak pihak.
6. Gereja-gereja di sekitar wilayah adat dan tempat-tempat terjadinya perampasan dan ketidakadilan sudah seharusnya memainkan peran-peran pendampingan demi terwujudnya keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Demikian pernyataan pers ini disiarkan untuk mewujudkan kedamaian bagi siapapun dengan menjunjung tinggi keadilan dan perdamaian.
Jakarta, 27 Agustus 2020
Philip Situmorang
HUMAS PGI
Leave a Reply