Arsip

Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, Minta Klarifikasi Wiranto

Advertisement

PONTIANAK – Pak Wiranto, Tuduhan Anda Itu Menyakitkan Peladang. Minta Klarifikasi Tuduhan Anda!. Begitulah pernyataan dari Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) melalui rilisnya yang diterima ruai.tv, Sabtu (14/9) sore, menyikapi Berita yang dimuat oleh Vivanews.com pada Jumat, 13/9/2019, pkl. 23:23 WIB bertajuk “Kebakaran Hutan, Wiranto: Gara-gara Peladang”, berjumlah 228 kata tidak termasuk judulnya itu menghebohkan dunia maya, dan perbincangan warga di warung-warung kopi, terutama di kalangan aktivis lingkungan dan pendukung gerakan masyarakat adat.

Beberapa warga, baik dari Ketapang, Bengkayang, Sintang, dan Landak, setelah ditanya melalui SMS dan WA mengkorfimasi bahwa sekarang ini mereka sudah menugal. “Sekarang orang sudah nugal. Musim membakar sudah lewat,” tulis Gina melalui WAnya dari Jelai Hulu, Kab. Ketapang.

Berdasarkan pantauan di lapangan, reaksi muncul terlebih karena musim membakar lahan untuk ladang sudah lewat. Kini para petani ladang sudah menugal. Peladang yang sesuai kearifan local, menanam aneka benih padi, dan tanaman pangan lokal lainnya. Sekarang ini, de facto dari tahun ke tahun jumlah peladang semakin berkurang seiring dengan semakin kecilnya akses petani ladang terhadap tanah dan lahan yang dialokasikan Pemerintah untuk konsesi perkebunan kelapa sawit, tambang, areal persawahan dan areal pemukiman transmigrasi.

Advertisement

Pengeboman air melalui helikopter ke lahan ladang petani di beberapa kampung, seperti yang terjadi di daerah Kab. Kubu Raya, Landak, Sanggau, Sintang, Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Ketapang saat membakar beberapa tahun terakhir sejatinya merupakan bentuk kekerasan yang sangat menyakitkan hati peladang. Menghentikan praktik berladang, sama artinya dengan melarang petani ladang untuk hidup karena menghadirkan ancaman krisis pangan dan kelaparan bagi petani ladang. Apalagi berladang, selain untuk melestarikan keragaman benih pangan lokal, praktik religi, budaya dan social ekonomi, juga untuk melanjutkan kehidupan sebagai manusia ciptaan Tuhan. Petani ladang sudah terlalu kenyang dengan tuduhan sebagai perambah hutan dan pembakar hutan.

Pak Wiranto, sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, jangan tambah resah hidup peladang. Ingat, lahan ladang semakin sempit. Janji Pak Wiranto yang ingin membantu peladang dengan alat-alat berat itu muskil sekali. Apa bapak pikir lahan ladang itu berada di satu lokasi hamparan hingga puluhan-ratusan-jutaan hektar? Sejak kapan parang, kapak dan beliung efektif digunakan membabat hutan sampai ratusan ribu bahkan jutaan hektar? Jelaskan, pak, kenapa ketika perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang belum ada dulu, dan saat itu petani yang berladang lebih banyak dari sekarang tidak pernah ada kabut asap?

Berladang dengan sistem gilir balik, seperti di tanah Kalimantan ini harus dipahami di dalam konteks agroekosistem perladangan itu sendiri. Peladang menempuh tahap-tahap pengerjaan ladang yang teratur dan tersistem, mulai dari mempersiapkan dan memilih lokasi, menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, panen hingga pesta padi yang tiap tahapnya disertai dengan ritual-ritual adat. Pendapat yang asal

menduga-duga, tidak memiliki dasar dan berujung dengan tuduhan yang menyakitkan petani ladang sangatlah tidak bijaksana.

Makna Berladang dan Jaminan UU, Berladang tak sekedar untuk memenuhi pangan. Tapi berladang sebagai cara hidup untuk (i) mempertahankan, melestarikan benih-benih pangan asli, (ii) untuk menghayati dan melaksanakan kehidupan religi, budaya, sosial dan ekonomi, (iii) untuk merayakan kesadaran diri dan komunitas petani sebagaimahluk Tuhan dan sikap bersyukur berupa pesta padi, (iv) berladang berarti menjalankan hak hidup turun-temurun, (v) berladang juga untuk membuktikan bahwa petani tersebut hadir/ada di lahan, tanah miliknya.

Peladang sesuai kearifan local dijamin oleh UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; memberikan pengecualian terhadap pembukaan lahan dengan cara dibakar maksimal 2 ha sebagaimana penjelasan Pasal 69 (ayat 2) UU ini yang menyatakan “Kearifan local yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 ha per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”. Dari paparan yang singkat di atas, semoga bapak mulai paham. Jadi, mohon segera klarifikasi tuduhan Anda! (Red).

Advertisement