PONTIANAK, RUAI.TV – Dunia akademik, kebudayaan, dan pendidikan Kalimantan Barat berduka. Kristianus Atok, intelektual Dayak, akademisi, penulis produktif, dan penggerak dialog lintas budaya, meninggal dunia pada Jumat, 26 Desember 2025, akibat sakit.
Kepergian Kristianus meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, sahabat, mahasiswa, serta jejaring akademik nasional dan internasional yang selama puluhan tahun tumbuh bersama pemikiran dan pengabdiannya.
Kristianus lahir di Menjalin, Kalimantan Barat, pada 28 Agustus 1966. Tambahan nama “Atok” bukan sekadar panggilan, melainkan doa dan harapan. Nama itu ia warisi dari seorang saudagar Tionghoa ternama di kampung Karangan, sebuah dusun terpencil di Tanah Landak yang pada masa kelahirannya bahkan belum tercatat di peta.
Sang kakek berharap cucunya kelak menapaki nasib baik, ketekunan, dan kebijaksanaan sang saudagar. Harapan itu menjelma menjadi jalan hidup Kristianus, bukan dalam bentuk kekayaan materi semata, tetapi kekayaan pengetahuan dan keberpihakan pada manusia serta kebudayaannya.
Kristianus menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama di kampung halamannya, Menjalin. Ia kemudian melanjutkan pendidikan SMA di Kabupaten Sanggau. Kesederhanaan hidup di pedalaman tidak membatasi langkahnya untuk bermimpi besar.
Selepas SMA, ia memilih Program Studi Agronomi di Universitas Tanjungpura dan meraih gelar sarjana pada 1991. Namun, minatnya yang mendalam terhadap manusia dan dinamika sosial mendorongnya memperluas horizon keilmuan. Ia melanjutkan studi Magister Sosiologi di universitas yang sama dan menyelesaikannya pada 2006.
Hasrat intelektual Kristianus tidak berhenti di situ. Ketertarikannya pada antropologi dan kebudayaan membawanya ke Universiti Kebangsaan Malaysia, Fakultas Alam dan Tamadun Melayu. Di kampus tersebut, ia menekuni studi antropologi dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D.). Sejak saat itu, Kristianus memantapkan diri sebagai akademisi yang memadukan perspektif lokal Dayak dengan kajian ilmiah global.
Di luar dunia akademik, Kristianus pernah menapaki jalan wirausaha. Pada 2000, ia mencoba beternak babi dan itik. Ia menekuni usaha itu hingga 2006. Namun, musibah datang ketika adik sepupunya yang mengelola usaha tersebut meninggal dunia secara mendadak. Peristiwa itu meninggalkan trauma mendalam dan memaksanya berhenti.
Jiwa pantang menyerah tetap menyala. Pada 2015, ia kembali mencoba bangkit melalui usaha berkebun sayur, lalu pada 2017 merambah budidaya lele dan ikan gurame. Bagi Kristianus, usaha bukan semata soal keuntungan, tetapi juga latihan ketekunan dan kemandirian hidup.
Dalam dunia akademik, Kristianus dikenal sebagai pengajar yang hangat, kritis, dan membumi. Ia mengabdi sebagai dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak serta menjadi dosen luar biasa pada Program Pascasarjana Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Tanjungpura sejak 2015.
Ia membangun jejaring internasional sejak dini, antara lain sebagai anggota East West Center Association di Hawaii sejak 1997, anggota CUSO Consultative Meeting Indonesia, serta CUSO Asia Consultative.
Kristianus aktif mengikuti diskusi dan kajian ilmiah di Malaysia dan Brunei. Ia terlibat dalam Borneo Dayak Forum Internasional (BDF-I) sebagai narasumber dan peserta aktif, serta menjadi bagian dari Borneo Studies Network yang menghimpun para peneliti dari seluruh wilayah Borneo.
Di ranah publik, ia dipercaya menjadi anggota tim seleksi KPU Sanggau dan KPU Kubu Raya sejak 2018, serta tercatat sebagai anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat. Pada periode 2025–2030, ia kembali mengemban amanah sebagai anggota Dewan Pendidikan Kalbar.
Perannya dalam pelestarian budaya Dayak juga sangat menonjol. Kristianus menjadi salah satu panitia penyelenggara Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak di Bengkayang pada 4–6 Juni 2017. Dalam forum bergengsi itu, ia tampil sebagai narasumber dengan topik kuliner berbasis budaya Dayak Kalimantan Barat, memaparkan pusparagam kuliner Dayak sebagai identitas, pengetahuan lokal, dan warisan peradaban.
Dalam organisasi kemasyarakatan, Kristianus memegang berbagai posisi strategis. Ia pernah menjabat Ketua Departemen Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan SDM Majelis Adat Dayak Nasional, Sekretaris Pergerakan Indonesia Maju Kalbar, Ketua I Vox Point Indonesia Kalbar, Sekretaris DPD Ikatan Sarjana Katolik Kalbar, serta Ketua Divisi Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional Kalbar. Menjelang akhir hayatnya, ia baru dilantik sebagai Ketua Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya dan Adat DPW ICDN Kalbar.
Kristianus juga meninggalkan warisan intelektual yang kaya melalui puluhan buku dan karya ilmiah. Sejak 1995, ia menulis dan menyunting buku-buku penting tentang pemetaan partisipatif, pengelolaan sumber daya alam, pertanian adat Dayak, relasi etnik, pendidikan anti-kekerasan, hingga perdamaian multietnik.
Karya-karya terbarunya mengulas tenun ikat Dayak Keninjal, dialektika budaya dan agama Katolik, antropologi agama, serta identitas Dayak tanpa sekat. Ia konsisten menulis jurnal nasional dan internasional, termasuk publikasi di LIPI dan jurnal internasional bereputasi.
Selain itu, publik Kalimantan Barat juga mengenalnya sebagai panelis dan moderator debat pemilihan kepala daerah. Ia pernah memoderatori debat Pilkada Sekadau yang disiarkan langsung oleh Ruai Televisi pada 5 November 2020. Dalam setiap forum, Kristianus tampil tenang, tajam, dan menjunjung tinggi etika dialog.
Kepergian Kristianus Atok menutup satu bab penting dalam perjalanan intelektual Dayak modern. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai yakni; keberanian berpikir, kesetiaan pada akar budaya, dan komitmen pada kemanusiaan. Warisan pemikiran dan keteladanannya akan terus hidup, menyala dalam buku-buku, ruang kelas, dan ingatan kolektif masyarakat Kalimantan Barat.
Catatan Terakhir Kristianus Atok: Usia, Kehidupan, dan Seni Melepaskan
Pada 10 Oktober 2025, dua bulan sebelum kepergiannya, Kristianus Atok menuliskan sebuah catatan singkat di akun media sosial pribadinya. Tulisan itu sederhana, tanpa pretensi akademik, tanpa kutipan teori. Namun justru di sanalah kekuatannya.
Catatan itu berbicara tentang usia, tentang kehidupan, dan tentang seni melepaskan, sebuah refleksi jujur dari seseorang yang telah menempuh perjalanan panjang sebagai manusia, pendidik, dan peziarah makna.
Kristianus membuka catatannya dengan pengakuan yang tenang yakni; semakin bertambah usia, cara pandang terhadap hidup ikut berubah. Ia tidak menulisnya sebagai keluhan, melainkan sebagai kesadaran.
Hal-hal yang dulu tampak penting perlahan kehilangan daya tarik. Keinginan untuk terlihat keren, dikenal banyak orang, dan menjadi pusat perhatian, menurutnya, memudar dengan sendirinya seiring waktu dan pengalaman. Ia menegaskan bahwa kedewasaan tidak selalu datang dari angka usia, tetapi dari keberanian untuk melepaskan hal-hal yang ternyata hanya menguras tenaga dan batin.
Bagi Kristianus, hidup di usia dewasa bukan lagi tentang kesenangan sesaat. Ia melihat hidup sebagai ruang untuk menemukan makna dan ketenangan. Ia menulis bahwa pada satu titik, manusia belajar menjaga energi, menata waktu, dan memprioritaskan hal-hal yang benar-benar penting.
Ia menyadari momen ketika seseorang berhenti mengejar validasi dan mulai menghargai keheningan. Dalam keheningan itulah, menurutnya, manusia tidak kehilangan semangat, tetapi justru menemukan arah yang lebih jujur dan damai.
Dalam catatannya, Kristianus mengurai satu per satu hal yang perlahan ia lepaskan seiring bertambahnya usia. Ia memulai dari kebutuhan akan pengakuan orang lain. Dulu, tulisnya, manusia kerap berusaha keras agar disukai dan diakui. Setiap pencapaian ingin dilihat, setiap langkah ingin dirayakan. Namun pengalaman hidup mengajarkannya bahwa pengakuan eksternal tidak pernah benar-benar memuaskan.
Ia menemukan kedamaian justru ketika ia melakukan sesuatu karena hal itu penting baginya, bukan karena ingin terlihat hebat di mata orang lain. Di sanalah, menurut Kristianus, pertumbuhan sejati terjadi. Ia kemudian berbicara tentang drama dan pertengkaran kecil yang sering menguras emosi. Di masa muda, perdebatan dan konflik sosial terasa menantang, bahkan menggairahkan. Namun seiring waktu, semua itu berubah menjadi kelelahan.
Kristianus menulis bahwa tidak semua hal perlu dibuktikan atau diluruskan. Ia memilih diam, tersenyum, dan melangkah pergi. Baginya, ketenangan batin jauh lebih berharga daripada memenangkan argumen yang tidak membawa makna apa pun.
Tentang pamer dan gengsi, Kristianus menuliskannya dengan nada jujur dan reflektif. Ia mengakui bahwa manusia pernah berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih sukses, lebih bahagia, dan lebih unggul, terutama di ruang media sosial. Namun semua itu, menurutnya, perlahan terasa kosong. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak membutuhkan pembuktian.
Orang yang benar-benar damai tidak sibuk memamerkan pencapaiannya, karena ia memahami bahwa hidup bukan kompetisi, melainkan perjalanan personal yang unik dan sunyi. Kristianus juga menyinggung perubahan dalam lingkaran sosial. Ia menulis bahwa semakin bertambah usia, semakin kecil lingkaran pertemanan.
Bukan karena menjadi antisosial, tetapi karena semakin selektif. Ia menyadari bahwa tidak semua hubungan membawa energi baik. Kedewasaan mengajarkannya untuk menghargai satu atau dua hubungan yang tulus, dibandingkan banyak relasi yang penuh basa-basi. Dalam kesunyian itulah, ia justru menemukan makna terdalam dari persahabatan dan kehadiran.
Hal lain yang ia lepaskan adalah keinginan untuk mengejar semua hal sekaligus. Di usia muda, manusia sering ingin meraih segalanya dalam waktu bersamaan: karier, cinta, popularitas, dan pengakuan. Kristianus menulis bahwa hidup bukan lomba cepat. Fokus dan keseimbangan jauh lebih penting daripada kecepatan. Ia belajar memilih mana yang selaras dengan nilai dan arah hidupnya. Tidak memiliki semuanya, baginya, bukan tanda kegagalan, melainkan bukti kesadaran dan kebijaksanaan.
Di bagian penutup catatannya, Kristianus menegaskan bahwa menjadi dewasa bukan berarti kehilangan semangat, tetapi menemukan arah. Ia menulis bahwa kedewasaan mengajarkan manusia untuk berhenti mengejar hal-hal yang sia-sia dan memberi ruang bagi hal-hal yang benar-benar penting untuk tumbuh. Kedamaian batin, menurutnya, jauh lebih mahal daripada seluruh validasi dunia.
Kini, setelah ia berpulang, catatan itu terasa seperti pesan perpisahan yang tenang. Kristianus Atok tidak meninggalkan teriakan, tetapi bisikan yang dalam. Ia mengajarkan bahwa hidup yang tenang jauh lebih indah daripada hidup yang terlihat sempurna di mata orang lain, sebuah pelajaran terakhir dari seorang guru kehidupan.
Penulis: Tarjan Sofian (Jurnalis Ruai TV)















Leave a Reply