“Kami sangat senang, ini sudah disepakati. Kedua belah pihak telah sama-sama memahami, ada yang keliru, ada yang mengakui. Setelah adat ini kita berharap masalah dapat selesai,” kata Heronimus Tanam.
“Kalau masalah lain seperti administrasi, ini kewenangan desa. Nanti pihak desa yang akan menindaklanjutinya. Kalau dari sisi adat ini udah selesai,” sambungnya.
Hukum Adat Perusahaan
Meski hadir dan menandatangani berita acara hukum adat, Legal PT Laman Mining, Prayudi Anograha Valentinus, tidak bersedia memberi keterangan pada awak media. Meski demikian ia mengaku menghormati hukum adat tersebut.
Pelapor kasus, Antoni Salim, merasa keputusan adat telah memenuhi rasa keadilan. Dia mengatakan, sudah banyak tanam-tumbuh yang dia usahakan di lokasi itu, namun perusahaan menggusurnya begitu saja.
Baca juga: Pelaku Ekonomi Kreatif Harus Pahami HAKI
“Lahan itu telah kami kelola sejak lama. Itu masih hutan yang masih asli, belum pernah terbakar,” ujar Antoni Salim.
Ketua DAD Kecamatan Matan Hilir Utara, Albertus Jamhari, mengatakan, hukuman adat dijatuhkan pada dua pihak. Pada tim yang ada di lapangan (tim pembebasan lahan) dan Laman Mining selaku perusahaan.
Hukum Adat Guling Batang berupa sebuah tajau berisi tuak, dua kali delapan 16 rial dan satu ekor ayam kampung. Barang adat ini harus diserahkan ke Demong Adat paling lama tiga kali 24 jam.
“Untuk satu mejanya itu dimintanya uang tunai Rp1 juta. Dalam hal penyelesaian secara adat kita membutuhkan konsumsi. Karena kita akan dipanggil lagi ke sini. Itu total biayanya Rp 35 juta,” ujar Jamhari.
Ia menjelaskan, PT Laman Mining terbukti bersalah secara adat. Karena menggusur lokasi tanpa sepengetahuan pemilik lahan.
“Kami bertanya ke para saksi, terus klarifikasi. Memang dikuatkan dengan keterangan berbagai pihak. Lahan tersebut secara kepemilikan memang milik Pak Antoni. Tapi secara adat kampung halaman, mereka juga sudah merusak tatanan kehidupan masyarakat adat,” paparnya. (AGU)
Leave a Reply