KAPUAS HULU, RUAI.TV – Masyarakat Adat (MA) Desa Nanga Nuar, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada 1 Oktober 2025 malam telah menyepakati bahwa alat peraga larangan atas hak turun-temurun mereka akhirnya dipindahkan dan diserahkan kepada Pemerintah Desa Nanga Nuar pada pukul 10.10 WIB, 2 Oktober 2025.
Seluruh perwakilan petani yang melakukan protes menyerahkan plang larangan tersebut secara resmi, yang diterima oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa Nanga Nuar, serta turut disaksikan oleh Babinsa Desa Nanga Nuar dan Desa Bongkong.

Sebelumnya, para petani dan warga mendatangi lokasi pematokan sekitar pukul 08.00 WIB, 2 Oktober 2025, dan menemukan bahwa patok yang dipasang serupa dengan patok-patok yang dipasang oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Patok-patok ini dianggap meresahkan seluruh masyarakat pemilik lahan dan hutan di Indonesia karena justru menyasar hak-hak atas hutan dan lahan yang dikelola serta dimiliki masyarakat, alih-alih fokus pada kawasan hutan yang dikuasai secara aktif oleh perusahaan-perusahaan skala besar.
Padahal, seluruh lahan yang ada di Desa Nanga Nuar dan pernah dikerjasamakan pada tahun 2000–2020, telah ditarik kembali sepenuhnya pada tahun 2021 karena perusahaan gagal mengelola kebun rakyat dan tidak memberikan hasil apa pun. Bahkan, perusahaan yang menjadi mitra kelola saat itu beroperasi tanpa izin.
“Itulah yang membuat Pemerintah Daerah Kapuas Hulu menyerahkan sepenuhnya pengelolaannya kepada desa dan petani, sesuai surat Bupati tahun 2018 itu. Terlepas dari itu, karena perlawanan petani semakin masif dalam kurun waktu 2011–2014, maka disepakati dengan perusahaan PT Riau Agrotama Plantation waktu itu bahwa apa pun keadaan kebun, pada 2021 diserahkan ke petani sepenuhnya,” kata Samuel saat proses pemindahan patok.
Sementara itu, Edi Sebirin menegaskan bahwa pemindahan patok ini merupakan keputusan bulat seluruh petani dan masyarakat Desa Nanga Nuar, tanpa paksaan dan bukan mewakili pribadi-pribadi.
“Kami menolak aktivitas yang dilakukan Satgas PKH, yang telah melakukan pencapan plang atas nama pengambilalihan lahan masyarakat. Karena itu, kami cabut plang ini,” tegas Edi.
Setelah menggotong plang tersebut dan setibanya di Kantor Desa Nanga Nuar, semua warga langsung menyerahkan barang bukti plang tersebut.
“Atas nama Masyarakat Adat, hari ini kami serahkan langsung kepada Pak Kades. Kami berpesan, kami tidak mau ada plang-plang lain yang serupa seperti ini di tempat kami. Kalau masih ada, maka kami akan melakukan tindakan yang lebih dari ini lagi. Demikian, Pak Kades, mohon diterima dengan baik,” ujar Edi Sebirin, petani yang juga Wakil Ketua DAD Kecamatan Silat Hilir.
Pada plang yang ditancapkan tersebut tertulis: “Lahan seluas 1,9 ribu hektare dalam pengawasan Pemerintah Republik Indonesia.” Hal ini semakin membuat warga marah, karena luas lahan yang tertera bahkan mencakup kebun sawit, kebun karet, tanaman tumbuh, bawas, ladang, rumah, dan hak milik masyarakat lainnya.
Warga sepakat belum mengambil tindakan lebih lanjut, namun tegas menyatakan bahwa mereka akan menghalau setiap tindakan semena-mena dari siapa pun, termasuk oknum-oknum yang diduga memberikan informasi keliru kepada pemerintah terkait hak atas tanah air dan hutan turun-temurun milik Masyarakat Adat Dayak, Melayu, dan beberapa suku lainnya yang hidup rukun dan berdampingan di Desa Nanga Nuar, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. RED
Leave a Reply