Arsip

Usai Ungkap 800 Ribu Rokok, Bea Cukai Kunjungan CVC Ke Kantor Kalbaco

Petugas Bea Cukai Kalbagbar melakukan kunjungan Customs Visit Customer (CVC) ke perusahaan yang memproduksi rokok Kalbaco yang mereka tangkap pada 14 Agustus 2025, yakni PT Borneo Twindo Group. (Foto/Ist)
Advertisement

PONTIANAK, RUAI.TV – Pengungkapan besar-besaran rokok diduga tanpa pita cukai merek Kalbaco di Kalimantan Barat terus menuai sorotan publik. Pasalnya, pasca operasi penindakan pada 12 Agustus 2025 lalu, hingga kini pihak Bea Cukai Kalbar belum mengeluarkan rilis resmi ke media terkait kelanjutan penyidikan kasus ini dengan alasan menunggu jadwal Pimpinan.

Alih-alih memberi penjelasan publik, Bea Cukai justru tercatat melakukan kunjungan Customs Visit Customer (CVC) ke perusahaan yang memproduksi rokok Kalbaco, yakni PT Borneo Twindo Group, pada 10 September 2025.

Berdasarkan dokumen resmi Bea Cukai bernomor PDP-02/KHUSUS/WBC.14/PPNS/2025 bertanggal 14 Agustus 2025, penyidik telah memulai proses hukum terkait dugaan tindak pidana di bidang cukai.

Advertisement

Barang bukti yang diamankan berupa 800 ribu batang rokok Kalbaco tanpa pita cukai, diangkut menggunakan truk boks merek Mitsubishi Fuso dengan nomor polisi B 9932 FXX, ditindak petugas Bea Cukai di Jalan Raya Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang.

Dalam pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut, seorang pria berinisial HS, warga Kabupaten Sintang, ditetapkan sebagai pihak yang diduga terlibat. Ia diamankan bersama barang bukti yang disebut melanggar Pasal 54 atau Pasal 56 Undang-Undang Cukai.

Pengakuan Pemilik Rokok Kalbaco

Menanggapi kasus ini, Direktur PT Borneo Twindo Group, Yulius Aho, mengakui bahwa rokok Kalbaco yang diamankan memang milik perusahaannya. Namun, ia menegaskan bahwa barang tersebut sejatinya diperuntukkan bagi pasar ekspor ke Malaysia, bukan untuk diedarkan kembali di dalam negeri.

“Benar Kalbaco milik saya. Yang diamankan itu barang ekspor ke Malaysia. Ada oknum yang sengaja beli dengan orang Malaysia, lalu bawa lagi masuk ke Kalbar. Saya tidak mengenal HS yang ditahan itu. Perusahaan kami sudah sesuai aturan ekspor, dan kami mendukung Bea Cukai untuk menindak pemain ilegal, khususnya rokok,” ujar Yulius Aho saat dikonfirmasi.

Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan publik, jika rokok tersebut merupakan barang ekspor resmi, bagaimana bisa ribuan batang Kalbaco kembali beredar di wilayah Kalbar tanpa pita cukai?

Kunjungan Bea Cukai Usai Pengungkapan

Situasi menjadi semakin menarik perhatian publik setelah akun resmi Instagram Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat pada 15 September 2025 mengunggah kegiatan kunjungan CVC ke PT Borneo Twindo Group.

Dalam unggahan itu, terlihat Kepala Bidang Fasilitas Kanwil DJBC Kalbagbar, Beni Novri, beserta jajaran, melakukan kunjungan kerja ke perusahaan pada 10 September 2025. Bea Cukai menyebut CVC merupakan bentuk komitmen mempererat sinergi dengan pengguna jasa, mendengarkan tantangan industri, serta memastikan kelancaran pelayanan kepabeanan.

“Melalui dialog terbuka dan konstruktif, diharapkan terjalin kolaborasi yang semakin kuat dalam mendorong pertumbuhan industri dan ekspor nasional,” demikian keterangan resmi Bea Cukai dalam unggahan tersebut.

Langkah ini sontak menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Pasalnya, kunjungan tersebut dilakukan kurang dari sebulan setelah pengungkapan kasus besar yang menyeret merek rokok dari perusahaan yang sama.

Publik mempertanyakan, apakah tindakan itu bentuk pengawasan lanjutan, atau justru memberi kesan adanya pendekatan khusus dengan pihak perusahaan.

Belum Ada Rilis Resmi

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Bea Cukai Kalbar terkait perkembangan penyidikan kasus 800 ribu batang rokok Kalbaco yang ditindak pada 12 Agustus 2025 lalu. Padahal, dalam dokumen pemberitahuan penyidikan yang dikirim ke Kejaksaan Tinggi Kalbar, Bea Cukai menyebut perkara ini sebagai tindak pidana serius di bidang cukai.

Ketiadaan rilis resmi menimbulkan spekulasi publik soal transparansi penanganan perkara. Apalagi, pemilik perusahaan sudah mengakui barang itu miliknya, meski dengan dalih sebagai produk ekspor.

Media ini sudah mengirim pertanyaan resmi kepada Kasi Humas Bea Cukai, Murtini terkait apakah Rokok yang mereka ungkap ini di produksi khusus untuk ekspor saja atau juga di dalam negeri. Namun, Humas Bea Cukai masih meminta waktu untuk menjawab.

Publik Menanti Kejelasan

Kasus ini menjadi perhatian luas lantaran menyangkut potensi kerugian negara dari peredaran barang kena cukai ilegal. Pengungkapan dalam jumlah besar seperti 800 ribu batang rokok semestinya mendapat perhatian serius, termasuk dari sisi komunikasi publik.

Sejumlah pemerhati hukum menilai, ketika penyidik sudah mengirim pemberitahuan resmi ke Kejati, maka keterbukaan informasi kepada publik juga perlu dilakukan. Kunjungan CVC ke perusahaan yang namanya terseret justru menimbulkan tanda tanya baru di masyarakat.

Sampai saat ini, publik masih menunggu penjelasan Bea Cukai Kalbar, apakah kasus ini akan terus bergulir hingga ke pengadilan baik terhadap pelaku maupun terhadap pemilik?.

Pengamat hukum pidana Universitas Tanjungpura, Dr. Hermansyah, menilai penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal di Kalimantan Barat masih jauh dari kata tuntas. Menurutnya, aparat hanya bergerak pada level permukaan dan belum menyentuh aktor utama yang sebenarnya mengendalikan peredaran barang kena cukai ilegal di wilayah ini.

“Penegakan hukum kita terhadap rokok ilegal belum menyentuh akar masalah. Yang diproses selama ini hanya mereka yang berada di lapangan, padahal pemain utama tetap lolos dari jerat hukum,” tegas Hermansyah.

Ia menjelaskan, dalam hukum pidana ada dua jenis perbuatan yakni; mala in se dan mala prohibita. Rokok ilegal masuk kategori mala prohibita, yakni perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana, tetapi menjadi terlarang karena mengganggu kepentingan negara, khususnya penerimaan dari sektor cukai.

“Indonesia ini produsen rokok besar, dan industri ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kalau rokok ilegal terus masuk, ini akan mengganggu industri nasional sekaligus merugikan penerimaan negara dari cukai,” ujarnya.

Hermansyah juga menyoroti rendahnya edukasi masyarakat terhadap dampak rokok ilegal. Menurutnya, banyak konsumen tidak peduli soal legalitas, yang penting bisa membeli dengan harga lebih murah. Kondisi ini, katanya, membuat pasar rokok ilegal tetap hidup dan sulit diberantas jika penindakan tidak menyasar jaringan utama.

“Masyarakat kita masih berpikir sederhana, yang penting bisa merokok dengan harga murah. Padahal di balik itu ada kerugian negara yang besar, dan industri legal yang mestinya terlindungi justru terganggu,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa aparat penegak hukum harus berani menelusuri siapa aktor besar di balik peredaran rokok ilegal. Penindakan hanya pada sopir, pengangkut, atau kurir tidak akan memberi efek jera.

“Kalau hanya berhenti di sopir atau buruh angkut, masalah tidak akan pernah selesai. Negara butuh keberanian aparat untuk membongkar siapa sebenarnya yang mengendalikan peredaran rokok ilegal di Kalbar,” pungkas Hermansyah.

Advertisement