JAYAPURA, RUAI.TV – “Negara telah merampas tanah kami. Ini bukan sekadar pembangunan, ini perampasan kehidupan.” Kalimat penuh luka ini keluar dari mulut Shinta, perempuan adat dari Suku Malind Anim, saat menghadap Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume.
Air matanya mewakili jutaan suara yang selama ini di bungkam di Tanah Papua. Selama dua hari, 4 – 5 Juli 2025, gedung Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P4W) di Padang Bulan, Distrik Heram, Jayapura menjadi saksi bisu kisah-kisah kelam masyarakat adat Papua.
Dalam forum yang di hadiri oleh Barume, suara-suara yang selama ini hanya menggema di tengah hutan dan gunung Papua, kini sampai ke telinga dunia.
Saksikan juga beritanya di : https://www.youtube.com/watch?v=r9KwvGbw6yc&t=36s
Pelapor Khusus PBB itu tidak datang sendirian. Ia di dampingi organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dan LBH Papua Merauke. Bersama-sama mereka mengangkat satu suara: Tanah Papua bukan tanah kosong.
Dari Sorong sampai Merauke, kesaksian demi kesaksian dibacakan. Masyarakat Adat Suku Malind di Merauke, Awyu di Boven Digoel, Mairasi di Teluk Wondama, hingga Biak di Biak Numfor. Mereka bukan hanya kehilangan tanah. Mereka kehilangan hutan, sungai, tempat keramat, bahkan nyawa.
Selama dua dekade terakhir, atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), tanah-tanah adat disulap menjadi food estate, perkebunan sawit, dan proyek-proyek raksasa lainnya. Semua itu melibatkan korporasi besar, penjagaan militer, dan tak jarang berakhir dengan kekerasan.
Saksikan juga beritanya di: https://www.youtube.com/watch?v=h4DdeZz64xo
Pendekatan militeristik dan investasi besar yang masuk ke Papua telah memecah belah komunitas adat, menimbulkan trauma antar generasi, dan mengancam punahnya identitas suku-suku asli Papua. Salah satunya adalah ancaman lenyapnya Suku Malind Anim di Kabupaten Merauke.
Albert K. Barume mengaku terkejut atas apa yang ia dengar. Ia menyebut bahwa hak-hak masyarakat adat merupakan bagian dari hukum internasional dan tidak boleh dinegasikan atas nama pembangunan.
“Apa yang saya dengar di sini adalah cerita nyata tentang pelanggaran hak, diskriminasi sistematis, dan perampasan wilayah adat secara masif,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, juga menyerukan suara lantang untuk seluruh rakyat Indonesia. “Kita semua berhak hidup lebih baik. Tapi hak itu tidak boleh di bayar dengan darah, air mata, dan penderitaan saudara-saudari kita di Papua.”
Saksikan juga beritanya di: https://www.youtube.com/watch?v=1ROlLtao7Ac&t=1s
Kehadiran utusan khusus PBB menjadi secercah harapan di tengah gelapnya realitas yang di hadapi masyarakat adat Papua. Mereka berharap dunia internasional melihat langsung ketidakadilan ini, dan mendesak pemerintah Indonesia menghentikan perampasan wilayah adat yang berkedok pembangunan nasional.
Pernyataan sikap dari AMAN, Greenpeace, Yayasan Pusaka, dan LBH Papua Merauke jelas: hentikan proyek-proyek yang mengorbankan hak hidup masyarakat adat. Papua bukan ruang kosong. Di sana ada kehidupan, sejarah, dan peradaban yang sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri.
Leave a Reply