JAYAPURA, RUAI.TV – Tangis dan amarah mewarnai pertemuan masyarakat adat Papua bersama Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang hak-hak masyarakat adat, Albert K. Barume, dalam kunjungannya ke Jayapura pada 4-5 Juli 2025.
Dalam forum penuh kejujuran dan kepedihan itu, satu per satu perwakilan masyarakat adat menyampaikan deretan pelanggaran HAM yang mereka alami mulai perampasan tanah adat, pengusiran, kekerasan, dan ancaman kepunahan budaya akibat proyek-proyek pemerintah dan korporasi.
“Tanah adalah ibu kami. Ketika tanah diambil, kami seperti anak yang kehilangan ibu. Hidup kami hancur,” ucap Hendrikus, salah satu tokoh masyarakat, sambil menahan air mata. Sejak 2013, desanya dikepung oleh ekspansi perkebunan sawit yang didukung izin pemerintah dan dibiayai investor asing.
Masyarakat menyebut proyek Proyek Stategis Nasional (PSN) 2,29 juta ha atau 70 kali Jakarta sebagai biang kerok utama perampasan tanah adat. Sepuluh perusahaan, di dalamnya yakni PT Global Papua Abadi, PT Semesta Gula Nusantara, PT Murni Nusantara Mandiri, PT Berkat Tebu Sejahtera, PT Agrindo Gula Nusa, PT Dutamas Resources Internasional, PT Sejahtera Gula Nusantara, PT Global Papua Makmur dan PT Borneo Citra Persada, telah mengubah hutan menjadi kebun tebu, mengabaikan penolakan masyarakat yang terus dilakukan sejak lebih dari satu dekade.
“Kami tidak pernah menjual tanah kami. Bagi orang Papua, menjual tanah itu seperti menjual nyawa,” kata Petrus Kinggo, dari Suku Wambon, Papua Selatan. “Perusahaan-perusahaan itu datang dengan modal asing dari Korea. Mereka ambil kayu, tanah, karbon, semua. Kami cuma bisa menangis.”
Dampak dari operasi perusahaan tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga menyingkirkan masyarakat dari tanah kelahiran mereka sendiri. Margareta menceritakan bagaimana desanya telah melakukan 44 aksi pemalangan terhadap perusahaan yang memaksa masuk, namun tetap dianggap tak bersuara.
“Pakaian adat kami dimusnahkan. Budaya kami dihancurkan. Kami bahkan tak bisa lagi bicara soal adat karena semuanya sudah dilenyapkan,” ujar seorang perempuan dari daerah Duga.
Dari wilayah Mappi, Papua Selatan, Yosias Edikia mengungkap bahwa sukunya, Auyu, kini hidup dalam ketakutan. “Kami terancam kehilangan tempat tinggal. Hutan kami adalah hidup kami. Kalau hutan hilang, kami punah.”
Dalam pertemuan tersebut, para tokoh adat juga mengecam kebijakan transmigrasi dan pembangunan markas militer yang semakin menyingkirkan masyarakat adat. Bahkan, pembangunan itu kerap disertai kekerasan dan intimidasi.
“Negara ini membangun citra baik ke luar, tapi dalam negerinya membiarkan rakyatnya hancur,” kata seorang peserta dari wilayah Lapago. “Pemerintah bisa bantu Palestina, tapi kepada kami sendiri tutup mata.”
Pendeta Dora, salah satu tokoh agama, menegaskan bahwa pihak gereja pun ikut menjadi korban. “Kami ditangkap, diintimidasi hanya karena mendampingi masyarakat adat mempertahankan tanahnya.”
Tiga tuntutan utama masyarakat adat kepada PBB dan Pemerintah Indonesia pun bergema dalam pertemuan ini yang disampikan oleh Ketua Forum Masyarakat Adat Malind, Simon Petrus Balagaize yakni;
- Cabut seluruh izin usaha sawit, tambang, dan PSN yang merampas tanah adat.
- Pulihkan seluruh pelanggaran HAM yang telah terjadi di Tanah Papua.
- Hentikan stigma dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan haknya.
“Kami bisa hidup tanpa negara dan perusahaan, tapi tidak bisa hidup tanpa hutan adat. Alam adalah kehidupan kami,” kata Paulinus Naki Balagaise, tokoh Suku Malind.
Albert Barume menyimak dengan penuh empati. Ia menegaskan bahwa dirinya akan menyampaikan semua jeritan dan tuntutan masyarakat Papua kepada pemerintah Indonesia dan dunia internasional.
“Saya datang ke sini untuk mendengar, mencatat, dan membawa suara Anda ke tempat yang lebih tinggi,” ujarnya. “Tanda mata dari kalian akan selalu mengingatkan saya pada penderitaan yang tak boleh di lupakan.”
Pertemuan ini bukan hanya jadi forum curahan hati, tapi juga panggilan moral bagi semua pihak pemerintah, investor, hingga dunia internasional untuk berhenti menutup mata atas penderitaan masyarakat adat Papua. Mereka tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin satu hal: hidup damai di atas tanah mereka sendiri.
Saksikan juga beritanya di RUAI TV dan Youtube Newsroom RuaiTV
Leave a Reply