KAPUAS HULU, RUAI.TV – Masyarakat Adat (MA) Desa Nanga Nuar, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada 1 Oktober 2025 mendadak dihebohkan dengan pemasangan peraga larangan oleh sekelompok orang yang berusaha membatasi hak Masyarakat Adat setempat dalam mengelola kebun sawit dan tanaman tumbuh mereka, dengan alasan kawasan hutan. Desa ini memiliki lahan adat yang telah dikelola oleh masyarakat Dayak-Melayu dan beberapa etnis lainnya sejak ratusan tahun lalu.
Sejumlah oknum tiba-tiba memasang peraga yang berisi larangan, yang diklaim masyarakat, tanpa ada pemberitahuan dan tanpa berkoordinasi dengan otoritas desa setempat maupun seluruh pemilik lahan sah secara turun-temurun Masyarakat Adat Desa Nanga Nuar.
Tindakan itu membuat masyarakat berang dan langsung merespons dengan melakukan pertemuan yang melibatkan ratusan warga dan perwakilan petani lainnya pada pukul 20.00 WIB sampai selesai.
Pertemuan yang melibatkan Kepala Desa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, dan seluruh petani tersebut menilai bahwa aksi yang dilakukan oknum-oknum itu adalah tindakan tanpa sopan santun, tidak beretika, dan mengabaikan tatanan kehidupan sosial, kebudayaan, serta sejarah kehidupan Masyarakat Adat setempat.
Ratusan peserta rapat menyuarakan bahwa mereka tidak mewakili kepentingan siapa pun, tetapi mewakili, melindungi, mempertahankan, dan mengelola hak masing-masing keluarga, kelompok, dan golongan Masyarakat Adat yang ada di wilayah Desa Nanga Nuar.
“Kita terkejut, dan kita bergerak oleh dan untuk kepentingan bersama, tidak mewakili siapa pun,” kata Didimus Tensi, Kepala Dusun Budidaya Rantau.
Sementara itu, Samuel warga atau petani dari Dusun Budidaya rantau bilang, jika ini dilakukan negara, negara tidak melindungi, menyayomi masyarakat, seolah-olah UUD 1945 pasal 33 tidak berlaku lagi.
“Padahl UUD dasar itu memilik kekuatan, filosofi, dan dasar mutlak untuk rakyat bisa makmur. Kita ini jangankan makmur, kelola yang hanya sedikit hamparan yang bisa dinikmati ribuan masyarakat desa nuar ini saja mau dirampas negara. Celakanya ini ada oknum-oknum lagi yang memainkannya. Jadi aturan itu ditelan mentah-mentah untuk menguntungkan mereka yang notebene bukan orang di sini lalu berlaku seenaknya. Mereka tidak tau sejarah tanah air kita di sini, mereka tidak pernah tau bagaimana dulu susahnya kerjsamakan korbankan tanam tumbuh dengan perusahaan yang tanpa hasil, padahal dengan harapan bisa makan minum. Sedangkan orang yang matok-matok sekarang ini mereka tau aturan yang bisa menguntungkan mereka saja, mereka lihat hanya buah sawit, sangat memalukan,” kata Samuel.
Sementara itu, Kepala Desa Nanga Nuar, Aidi Syahpri, mengatakan bahwa pada siang hari tanggal 1 Oktober, ia menerima pesan WhatsApp dari Camat Silat Hilir bahwa ada pihak tertentu yang akan memasang peraga larangan di Desa Nanga Nuar.
“Karena itu, kita perlu ada keputusan bersama yang lahir dari semua Masyarakat Adat yang ada di desa ini,” tandasnya.
Wakil Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Silat Hilir, Edi Sebirin, yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa sebagai pengurus DAD, masalah ini akan ditangani secara serius, bahkan hingga ke penerapan Hukum Adat atas dugaan tindakan semena-mena tersebut.
“Selaku Wakil Ketua DAD Silat Hilir dan sebagai masyarakat Desa Nanga Nuar yang juga pemilik lahan serta bagian dari keluarga besar di desa ini, saya siap bersama-sama Bapak dan Ibu karena ini menyangkut kepentingan masyarakat, hak hidup, hak berdaulat secara ekonomi, dan hak atas masa depan,” kata Edi Sebirin.
Sementara itu, Ami Suni, Ketua Adat Melayu Desa Nanga Nuar, menyerukan semua Masyarakat Adat untuk bersatu atas rasa ketidakadilan ini.
“Kami, bersama semua komunitas suku yang ada di sini, sudah hidup turun-temurun dari nenek moyang kami. Karena itu, ya kita maju. Ini hak kita, ini tanah kita. Kati baka tiba-tiba ada kabar baka tuk,” kata Ami Suni, menggunakan bahasa Dayak Melayu setempat.
Sejumlah petani dan Wakil Ketua DAD Kecamatan Silat Hilir memaparkan bahwa Masyarakat Adat Desa Nanga Nuar telah menarik kembali hak mereka atas lahan sawit sejak Januari 2021, setelah PT Riau Agrotama Plantation (RAP) Salim Grup mengelola lahan tersebut selama 20 tahun tanpa memberikan hasil yang signifikan.
Lahan yang digarap perusahaan sejak tahun 2000 itu akhirnya kembali ke tangan masyarakat karena perusahaan gagal memberikan hasil selama kurang lebih 17 tahun sejak masa produktif.
“Itu dasarnya, maka ditarik keseluruhan sejak 2021. Bukan lagi bicara inti dan plasma, mengingat perusahaan gagal total dan patut kita duga manipulatif. Terbukti, setelah kita kelola sendiri, ternyata berhasil.”
“25 tahun lalu, pada saat Masyarakat Adat bekerja sama dengan PT RAP, ayah mertua saya sebagai Kepala Desa. Jadi, lahan yang diserahkan itu tidak satu jengkal pun hutan perawan. Semua ladang, bawas, kebun karet, dan tanaman tumbuh lainnya. Itu adalah tanah adat ulayat masing-masing orang, keluarga, dan kelompok masyarakat. Saat penggarapan sawit tahun 2000 itu dilakukan dengan harapan akan mensejahterakan Masyarakat Adat.”
“Jadi, tidak ada hutan perawan yang diserahkan dengan kayu berdiameter ratusan centimeter. Ini berbeda sekali dengan tempat lain, di mana oknum-oknumnya mencuri hutan, kayu, dan tanah air kita di Kalimantan ini dengan merusak dan menenggelamkan hutan puluhan hingga ratusan ribu hektare. Kita ini baru saja ambil alih hak kita empat tahun terakhir ini, bahkan dengan jumlah yang terbatas, tempat sempit, sudah ada yang mau ganggu, teriak, iri, dan dengki. Dan itu, orang-orang luar lagi,” kata Edi Sebirin.
Sementara itu, Ketua Koperasi Unit Desa Asmoja, yang juga sejak lama berjuang memperoleh hak-hak petani, membenarkan bahwa bagi hasil selama bekerja sama dengan PT RAP sangat merugikan dan mengecewakan masyarakat petani.
“Ya, harus kita akui, hasil petani waktu itu hanya berkisar tiga puluhan ribu rupiah sampai dua ratus lima puluh ribuan per kapling. Hasil itu selama belasan tahun. Tapi terbukti berhasil setelah petani kelola sendiri, dan itu pun buahnya dibeli oleh pabrik PT RAP,” kata Hendrik.
Setelah mendengar masukan dari para pemilik lahan dan Masyarakat Adat yang lahan mereka dicaplok atas nama kawasan hutan, warga sepakat menolak cara tersebut dan menyepakati bahwa alat peraga larangan itu dicabut dan diserahkan kepada Pemerintah Desa secara resmi. Alat peraga itu dianggap sebagai alat intimidasi, teror, dan membuat resah seluruh Masyarakat Adat yang ada.
Seluruh masyarakat yang hadir meminta agar kejadian serupa tidak terjadi kembali. “Stop! Jangan asal bertindak tanpa sopan santun seperti itu. Di kampung ini ada manusianya. Jangan merasa punya kuasa atau diberi kuasa lalu seenaknya mengatur sistem dan tata kelola kehidupan Masyarakat Adat di daerah ini. Masyarakat di sini sudah tenang-tenang, hidup sudah mulai teratur, ekonomi mulai membaik, lalu ada oknum-oknum atas nama negara mau buat kacau,” kata Edi Sebirin menutup pembicaraan. RED
Leave a Reply