PONTIANAK, RUAI.TV – Pelaksanaan seleksi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kalimantan Barat periode 2025–2028 mendapat sorotan dari salah satu peserta seleksi, Muhammad Haris Zulkarnain.
Ia menilai tahapan akhir seleksi belum menghadirkan keterbukaan informasi yang memadai kepada publik, khususnya terkait pengumuman hasil fit and proper test (FPT).
Muhammad Haris Zulkarnain menyampaikan kritik tersebut setelah seluruh tahapan seleksi berjalan selama sekitar tujuh bulan, sejak Juni hingga Desember 2025. Menurutnya, persoalan utama tidak terletak pada siapa yang terpilih, melainkan pada cara penyelenggara menyampaikan hasil seleksi kepada peserta dan masyarakat.
“Seleksi ini saya nilai kurang transparan terhadap publik. Setelah fit and proper test pada 25–26 November 2025, tidak ada informasi resmi yang bisa diakses publik terkait hasil akhirnya,” ujar Haris saat memberikan keterangan kepada wartawan, Senin (29/12).
Ia menjelaskan, kejanggalan mulai muncul ketika Komisi I DPRD Kalimantan Barat menggelar rapat internal dan pleno penetapan hasil seleksi calon anggota KPID. Rapat tersebut tertuang dalam surat bernomor 35-Kom-I/XII/2025 tertanggal 16 Desember 2025.
Namun, menurut Haris, hasil rapat itu tidak segera diumumkan secara terbuka melalui media massa. “Seharusnya setelah rapat internal tersebut, hasilnya langsung diumumkan ke publik agar semua pihak mengetahui. Namun faktanya, publik baru mendengar kabar secara tidak resmi, bahkan hingga menjelang pelantikan,” katanya.
Haris menilai keterlambatan pengumuman ini merugikan peserta seleksi dan memunculkan tanda tanya di tengah masyarakat. Ia menegaskan bahwa pengumuman nama peserta terpilih, peserta cadangan, dan nilai akhir bukanlah hal yang di larang oleh regulasi.
“Tidak ada sanksi dari negara jika penyelenggara mengumumkan hasil seleksi secara terbuka. Justru keterbukaan itu mencerminkan komitmen terhadap keadilan dan transparansi,” ujarnya.
Ia juga membandingkan proses seleksi KPID di Kalimantan Barat dengan sejumlah provinsi lain. Menurutnya, di daerah lain hasil seleksi dapat diakses publik melalui media online, cetak, maupun televisi. Kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi di Kalbar, di mana tidak ditemukan rilis resmi yang mudah diakses masyarakat.
Haris menekankan bahwa KPID merupakan lembaga negara yang seluruh prosesnya menggunakan anggaran publik. Karena itu, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui setiap tahapan seleksi secara jelas dan terbuka.
“Di era disrupsi informasi seperti sekarang, publik berhak tahu. Ini bukan lembaga privat, semua bersumber dari uang rakyat Kalimantan Barat,” tegasnya.
Ia berharap praktik serupa tidak kembali terjadi pada seleksi lembaga negara lainnya di Kalimantan Barat. Menurutnya, partisipasi, pengawasan, dan kritik publik sangat di perlukan agar seleksi menghasilkan figur yang benar-benar memiliki kapasitas dan rekam jejak yang jelas.
Dalam keterangannya, Haris juga mengakui bahwa seleksi KPI Daerah di berbagai provinsi kerap diwarnai beragam persoalan. Ia menyebut banyak peserta membawa agenda kepentingan kelompok, afiliasi politik, atau sekadar menjadikan KPI sebagai batu loncatan menuju lembaga lain.
“Realitas ini harus kita akui bersama. Padahal, idealnya seleksi ini bertujuan untuk pengabdian dan perbaikan pengawasan penyiaran di daerah,” katanya.
Ia turut menyoroti lamanya tahapan seleksi yang berlangsung selama tujuh bulan. Menurut Haris, jadwal yang tidak konsisten dan sering molor berdampak pada perpanjangan masa jabatan komisioner KPID periode 2022–2025.
“Di setiap tahapan lebih banyak penundaan, sementara informasi juga minim. Bahkan pengumuman nama terpilih hanya beredar melalui pesan WhatsApp, tanpa rilis resmi di media,” ujarnya.
Haris mengaku merasa dirugikan dalam proses seleksi ini. Namun ia menegaskan kritik yang di sampaikannya bukan bertujuan memojokkan pihak tertentu, melainkan mendorong perbaikan tata kelola seleksi ke depan.
“Saya berbicara soal keadilan dan transparansi. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik,” katanya.
Sebagai bentuk respons, Haris menyatakan tengah mempertimbangkan sejumlah langkah sesuai mekanisme hukum dan administrasi.
Langkah tersebut meliputi pengaduan dugaan pelanggaran etik ke Badan Kehormatan DPRD Kalbar, permohonan keterbukaan informasi ke Komisi Informasi Provinsi Kalbar, laporan dugaan maladministrasi ke Ombudsman, hingga kemungkinan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak.
“Semua langkah ini saya pertimbangkan secara matang dan sesuai aturan,” tutup Haris.
Menanggapi kritik tersebut, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Rasmidi, memberikan penjelasan terkait mekanisme seleksi. Ia menegaskan bahwa DPRD menjalankan tahapan sesuai dengan Peraturan KPI Pusat Tahun 2024.
“Setelah panitia seleksi menyerahkan nama-nama calon ke DPRD, DPRD berkewajiban mengumumkan ke publik untuk uji publik selama 10 hari kerja sebelum fit and proper test, dan itu sudah kami laksanakan,” jelas Rasmidi.
Ia melanjutkan, DPRD kemudian melaksanakan fit and proper test terhadap peserta yang telah mengikuti uji publik. Hasil FPT ditetapkan berdasarkan penilaian yang ada dan selanjutnya disampaikan kepada gubernur paling lama 100 hari, sebagaimana diatur dalam peraturan KPI Pusat.
“Dalam aturan tersebut, DPRD tidak memiliki kewajiban untuk kembali mengumumkan hasil FPT ke publik. Mekanisme pengumuman hanya berlaku pada tahap yang masih berada di panitia seleksi,” ujarnya.
Rasmidi menegaskan bahwa seluruh tahapan telah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Sebagai informasi, Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan resmi melantik tujuh komisioner KPID Kalbar periode 2025–2028 pada Selasa (30/12) pagi.
Dari tujuh nama tersebut, hanya satu orang yang merupakan petahana, yakni Teresa Rante Mecer. Enam komisioner lainnya adalah Dea Citra Rahmatika, Ressy Arza, Rudi Handoko, Ramdan, Bambang Hermansyah, dan Cesar Marchello Miracle.















Leave a Reply