BENGKAYANG, RUAI.TV – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkayang menegaskan keseriusannya dalam mengatasi persoalan penambangan tanpa izin (PETI) yang marak di wilayah setempat. Salah satu langkah strategis yang telah dilakukan adalah mengajukan usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Wakil Bupati Bengkayang, Syamsul Rizal, menyampaikan bahwa usulan penetapan WPR sebenarnya telah diajukan sejak dua tahun lalu dan telah diperbaiki dua kali sesuai mekanisme yang berlaku. Namun hingga kini, prosesnya masih menunggu keputusan dari Kementerian ESDM, khususnya Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
“Pemkab Bengkayang tidak tinggal diam. Proses pengajuan WPR sudah kami lakukan dan sudah beberapa kali direvisi. Namun, kami harus menunggu keputusan pusat. Setelah WPR keluar, masih ada tahapan lanjut, yaitu kajian dari perguruan tinggi untuk bisa ditetapkan menjadi Izin Pertambangan Rakyat (IPR),” kata Syamsul Rizal di Bengkayang, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa Pemkab Bengkayang mengusulkan 38 blok WPR dengan luasan maksimal 100 hektare per blok. Kajian akademik dari perguruan tinggi diperlukan sebelum status WPR dapat ditingkatkan menjadi IPR. Kajian tersebut mencakup aspek ekonomi dan lingkungan yang memerlukan dukungan biaya.
“Jika WPR dan IPR sudah keluar, saya yakin 75 persen masalah PETI bisa diselesaikan. Penambangan rakyat akan legal dan teratur, sementara aktivitas di luar WPR dan IPR dapat langsung ditindak oleh aparat,” ujarnya.
Menurut Syamsul, dalam aturan nantinya, koperasi hanya bisa mengelola maksimal 10 hektare, sementara perorangan lima hektare. Penambangan di luar batas tersebut akan dikategorikan ilegal.
Selain aspek penertiban, WPR juga dinilai dapat memberikan manfaat langsung bagi daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD). Akan ada skema pembagian keuntungan untuk desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi.
“Dengan WPR, pengelolaan tambang tidak lagi sembunyi-sembunyi. Pemerintah daerah dapat memperoleh PAD. Misalnya, dari setiap gram emas, ada ketentuan retribusi yang bisa dibagi ke tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten,” jelasnya.
Ia juga menyoroti dampak kerusakan lingkungan akibat PETI, terutama yang menggunakan alat berat. Aktivitas tersebut merusak aliran sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bersih masyarakat.
“Jika penambangan tradisional dengan dulang mungkin tidak masalah, tetapi penggunaan alat berat jelas merusak lingkungan dan biasanya ada cukong di belakangnya. Yang kita khawatirkan, ketika terjadi kecelakaan tambang, masyarakat yang menjadi korban, sementara cukongnya lepas begitu saja,” tegasnya.
Untuk itu, Pemkab Bengkayang bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) menegaskan dukungannya terhadap aparat keamanan dalam penegakan hukum. Pemerintah meminta masyarakat bersabar dan tidak melakukan aksi anarkis sambil menunggu keluarnya keputusan WPR dari pusat.
“Kami berharap masyarakat memahami bahwa proses ini memang panjang karena dikeluarkan serentak se-provinsi. Kalbar sendiri ada delapan kabupaten yang mengusulkan WPR, dan sejauh ini belum ada yang benar-benar operasional. Kami mohon masyarakat tidak terprovokasi, jangan anarkis, mari sama-sama kita jaga keamanan Bengkayang,” pungkas Syamsul Rizal.
Leave a Reply