PONTIANAK, RUAI.TV – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan setelah Badan Gizi Nasional (BGN) merilis data terbaru korban keracunan. Per 22 September 2025, sedikitnya 18 provinsi melaporkan kasus keracunan yang diduga akibat konsumsi makanan dari program pemerintah ini.
Data BGN memperlihatkan perbedaan mencolok dengan laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Misalnya, di Jawa Barat CISDI mencatat 2.945 korban, sementara BGN hanya melaporkan 989 korban.
Hal serupa juga tampak di DI Yogyakarta (CISDI: 905 korban, BGN: 698 korban) serta Jawa Tengah (CISDI: 468 korban, BGN: 404 korban). Beberapa daerah bahkan memperlihatkan kebalikan, di mana BGN mencatat lebih tinggi dibanding CISDI. Contohnya Lampung (BGN: 530, CISDI: 307) dan Sulawesi Tengah (BGN: 359, CISDI: 277).
Sementara itu, di Kalimantan Barat, BGN melaporkan ada 31 anak menjadi korban keracunan MBG. Angka ini tergolong kecil dibanding provinsi besar di Jawa, namun tetap memunculkan keprihatinan karena menyangkut kesehatan anak usia sekolah.
Menanggapi situasi ini, Anggota DPRD Kalbar Lidya Natalia Sartono menilai pemerintah pusat gagal membaca kondisi nyata di lapangan. Ia menilai program MBG justru menjadi beban baru yang mengorbankan generasi muda.
“Miris sekali melihat program ini. Negara terus memaksakan untuk dilanjutkan tanpa evaluasi yang tegas. Korban justru semakin banyak. Pemerintah seolah pura-pura tidak tahu bahwa letak geografis dan distribusi sekolah di Indonesia sangat beragam. MBG dipaksakan, asal masak, asal distribusi, tanpa pikirkan kualitas makanan. Padahal mayoritas yang mengonsumsi adalah anak-anak yang masih rentan,” tegas Lidya.
Menurutnya, Indonesia saat ini bukan dalam kondisi darurat kelaparan, melainkan menghadapi darurat di sektor lain yang lebih krusial.
“Darurat beasiswa, darurat kurikulum, darurat tenaga kerja, darurat sarana prasarana sekolah, serta darurat tunjangan untuk guru dan tenaga kesehatan. Jangan jadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan MBG,” tambahnya.
Lidya juga mengkritisi ide agar guru mencicipi makanan terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada murid. Ia menyebut gagasan itu tidak masuk akal. “Apa fungsi tenaga gizi yang disediakan di dapur MBG? Seharusnya mereka yang memastikan kualitas makanan, bukan guru,” katanya.
Sebagai informasi, pemerintah mengalokasikan Rp15.000 per anak untuk program MBG. Dari jumlah itu, Rp5.000 digunakan untuk biaya operasional seperti upah masak, sewa dapur, peralatan, dan transportasi, sementara Rp10.000 dialokasikan untuk bahan makanan.
Namun, alokasi besar itu dinilai tidak sebanding dengan kualitas yang diterima siswa. Kasus keracunan yang terus terjadi menjadi bukti lemahnya pengawasan dan manajemen distribusi.
“Kalau tidak ada kepastian dan perbaikan sistem, mau sampai kapan anak-anak kita terus jadi korban? Apa yang akan terjadi dengan generasi emas Indonesia nanti?” pungkas Lidya.
Perbandingan Data Korban Keracunan MBG
Sumber: Badan Gizi Nasional (22 September 2025) & CISDI (25 September 2025)
Provinsi | Data CISDI | Data BGN |
Jawa Barat | 2.945 | 989 |
DI Yogyakarta | 905 | 698 |
Jawa Tengah | 468 | 404 |
Bengkulu | 456 | 467 |
Lampung | 307 | 530 |
NTT | 305 | 205 |
Sulawesi Tengah | 277 | 359 |
Sumatera Selatan | 271 | 256 |
Jawa Timur | 252 | 150 |
Kalimantan Utara | 115 | — |
NTB | 59 | 90 |
Sulawesi Tenggara | 46 | 7 |
Maluku | 33 | — |
Riau | 32 | 28 |
Kalimantan Barat | — | 31 |
Banten | 28 | 20 |
Sulawesi Barat | 13 | — |
Sulawesi Utara | 13 | 6 |
Papua Barat | 17 | 11 |
DKI Jakarta | — | — |
Sulawesi Selatan | — | — |
Keterangan: Tanda (—) menunjukkan tidak ada data yang dilaporkan oleh salah satu lembaga.
Leave a Reply