Arsip

Koalisi Masyarakat Adat Desak Polda Kalbar Hentikan Proses Hukum Fendy Sesupi

Koalisi untuk Keadilan Fendy Sesupi (KAFS) menyampaikan tuntutan kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. (Foto/ruai.tv)
Advertisement

PONTIANAK, RUAI.TV – Koalisi untuk Keadilan Fendy Sesupi (KAFS) menyampaikan tuntutan kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Barat untuk menghentikan seluruh proses hukum terhadap Tarsisius Fendy Sesupi.

Tuntutan tersebut disampaikan dalam aksi simpatik solidaritas yang berlangsung di Mapolda Kalbar, Pontianak, Senin, 15 Desember 2025. Aksi ini menegaskan perjuangan masyarakat adat Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Kabupaten Ketapang, dalam mempertahankan tanah dan wilayah adat mereka.

Dalam pernyataan resminya, KAFS menyebut perkara yang menjerat Tarsisius Fendy Sesupi tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan kayu PT Mayawana Persada.

Advertisement

Koalisi meminta aparat penegak hukum menangani perkara ini secara profesional dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah. “Tindakan hukum yang menimpa Fendy tidak bisa dilepaskan dari konflik struktural yang sedang dihadapi masyarakat adat. Kami meminta Polda Kalbar melihat perkara ini secara menyeluruh dan adil,” sebagaimana dikutif dalam rilis resmi KAFS yang diterima redaksi ruai tv, Senin sore.

Tarsisius Fendy Sesupi merupakan Kepala Adat Dusun Lelayang sekaligus Ketua Serikat Tani Nusa Indah Lelayang. Selama ini, ia aktif mendampingi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak atas tanah, hutan adat, dan ruang hidup yang mereka kelola secara turun-temurun. Peran tersebut menjadikannya tokoh sentral dalam upaya masyarakat menghadapi ekspansi perusahaan di wilayah mereka.

PT Mayawana Persada tercatat sebagai pemegang izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) dengan luas konsesi 136.710 hektare berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 724/Menhut-II/2010. Wilayah konsesi perusahaan ini mencakup dua kabupaten dan 14 desa dengan jumlah penduduk hampir 40.000 jiwa.

Sejak mulai beroperasi pada 2010, aktivitas perusahaan diduga memicu berbagai persoalan di tingkat tapak. Masyarakat Desa Kualan Hilir dan Desa Sekucing Kualan mencatat adanya penggusuran lahan, pembukaan kawasan hutan, serta aktivitas perusahaan yang dinilai tidak sejalan dengan hukum adat setempat. Kondisi ini mendorong masyarakat melakukan berbagai bentuk perlawanan secara terbuka.

“Kami sudah berulang kali menyampaikan keberatan melalui dialog, mediasi, hingga aksi damai. Yang kami perjuangkan adalah tanah adat dan ruang hidup kami,” ujarnya.

Puncak ketegangan terjadi pada 3 Desember 2023. Saat itu, masyarakat Dusun Lelayang bersama sebagian warga Selimbung dan Gensaok menggelar aksi demonstrasi di wilayah Dusun Lelayang. Aksi ini muncul sebagai respons atas penggusuran lahan yang dilakukan perusahaan tanpa pemberitahuan kepada masyarakat serta belum adanya penyelesaian atas pembakaran pondok ladang milik warga.

Dalam aksi tersebut, perwakilan masyarakat mendatangi kantor PT Mayawana Persada di Pundi untuk melakukan mediasi. Mediasi itu menghasilkan kesepakatan bahwa perusahaan bersedia membayar adat dan menyelesaikan persoalan adat pada 5 Desember 2023.

Sebagai tindak lanjut, masyarakat meminta perusahaan menghentikan seluruh aktivitas di area konflik dan memasang Mandoh Adat sebagai simbol penegasan hukum adat. Pada 4 Desember 2023, pihak perusahaan mentransfer sejumlah dana kepada Tarsisius Fendy Sesupi selaku Kepala Adat Dusun Lelayang.

Dana tersebut digunakan untuk membeli perlengkapan adat sebagai bagian dari proses penyelesaian adat. Namun hingga tanggal yang telah disepakati, perusahaan tidak hadir ke Kampung Lelayang dan Gensaok untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Hingga Januari 2024, tidak ada penyelesaian adat sebagaimana dijanjikan. Kami justru menerima kabar adanya laporan hukum,” ungkap KAFS dalam keterangannya.

Pada 14 Januari 2024, Tarsisius Fendy Sesupi dan Riki, anggota Tim Barisan Bela Rakyat (TBBR), menerima Surat Undangan Wawancara Klarifikasi dari Polres Ketapang. Surat bernomor B/15/I/RES.1.24/2023/Reskrim-I itu berkaitan dengan dugaan pemerasan, ancaman, dan kekerasan sebagaimana Pasal 368 KUHP atau Pasal 335 KUHP, yang dilaporkan oleh pihak perusahaan terkait peristiwa 3 Desember 2023.

Perkembangan perkara berlanjut hingga 2025. KAFS mencatat bahwa pada 9 Desember 2025, Fendy disebut hendak dijemput secara paksa dan diketahui telah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Oktober 2025. Penetapan tersebut, menurut Koalisi, dilakukan tanpa sepengetahuan kuasa hukum dan tanpa adanya surat pemanggilan sebagai tersangka sebelumnya.

“Surat pemanggilan sebagai tersangka baru diterima pada 9 Desember 2025, dengan jadwal pemeriksaan 15 Desember 2025. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat,” katanya.

Atas dasar itu, KAFS menyampaikan dua tuntutan utama kepada Polda Kalbar. Pertama, Koalisi mendesak Kapolda Kalimantan Barat dan Kapolres Ketapang menghentikan seluruh proses hukum terhadap Tarsisius Fendy Sesupi. Kedua, Koalisi meminta aparat menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang tengah memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah adatnya.

“Kami datang untuk meminta keadilan. Jangan jadikan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat adat yang sedang memperjuangkan hak hidupnya,” tegas mereka.

Koalisi berharap Polda Kalbar dapat menangani perkara ini secara objektif, transparan, dan berkeadilan. KAFS menilai penyelesaian konflik agraria membutuhkan pendekatan dialog dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, agar tidak terus memunculkan ketegangan dan proses hukum yang berkepanjangan.

Advertisement