KETAPANG, RUAI.TV – Jelang Hari Orangutan Internasional yang diperingati setiap 19 Agustus, seekor orangutan bernama Jojo akhirnya merasakan kembali kehidupan yang lebih dekat dengan alam. Setelah lebih dari dua dekade hidup dalam kurungan, Jojo kini bisa memanjat pohon untuk pertama kalinya.
Momen ini terwujud berkat pembangunan enclosure hutan semi-liar seluas dua hektar yang dikelola Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di pusat rehabilitasi orangutan Desa Sungai Awan Kiri, Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Masa Lalu Kelam Jojo
Jojo kini berusia lebih dari 25 tahun. Namun perjalanan hidupnya jauh dari kata mudah. Pada tahun 2009, tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bersama YIARI menemukannya dalam kondisi mengenaskan. Rantai besi sepanjang tak lebih dari 30 sentimeter melilit erat di kakinya dan menimbulkan infeksi parah. Besi itu bahkan menembus ke dalam kulit.
Saat ditemukan, Jojo hanya bisa duduk dan berdiri di tempat yang sama. Ia terkurung di halaman belakang rumah warga, dikelilingi sampah dan limbah, tanpa atap pelindung dari panas terik atau hujan deras.
Menurut keterangan pemiliknya, Jojo sudah dipelihara sejak bayi. Artinya, seluruh masa kecil dan remajanya waktu penting ketika orangutan belajar bertahan hidup dari induknya hilang begitu saja. Karmele Llano Sánchez, Direktur Utama YIARI, masih mengingat jelas pertemuan pertama dengan Jojo.
“Melihat kondisinya adalah salah satu hari paling berat dalam hidup saya. Saat itu saya hanya bisa membersihkan lukanya dan memindahkan rantainya ke kaki sebelah, karena di Kalbar belum ada tempat penyelamatan orangutan. Saya terpaksa meninggalkan Jojo di sana, sebab tidak ada pilihan lain,” kenang Karmele.
Peristiwa menyedihkan itu justru menjadi titik balik. Dari situlah lahir inisiatif membangun pusat rehabilitasi orangutan di Ketapang. Dengan dukungan BKSDA Kalbar dan mitra internasional, YIARI mulai mengembangkan fasilitas penyelamatan satwa yang kini menjadi pusat konservasi terbesar di wilayah tersebut.
Perjuangan Panjang di Pusat Rehabilitasi
Saat Jojo tiba di pusat rehabilitasi, kondisinya sudah sangat rapuh. Tim medis mendapati ia menderita rakitis, kelainan tulang akibat kekurangan gizi dan minim paparan sinar matahari. Kakinya bengkok dan tak mampu menopang tubuh dengan normal, sehingga ia berjalan dengan kedua tangan.
Selain itu, Jojo juga sempat mengidap pneumonia kronis yang membuatnya kesulitan bernapas. Proses perawatannya berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya ia pulih sebagian. Meski begitu, kerusakan permanen pada tubuhnya membuat Jojo tak mungkin di lepasliarkan ke alam liar.
Ia tidak bisa mencari makan atau memanjat pohon dengan kemampuan normal seperti orangutan lain. Keterbatasan itulah yang melatarbelakangi pembangunan enclosure hutan semi-liar. Area seluas dua hektar tersebut menjadi ruang aman bagi Jojo untuk tetap hidup dalam lingkungan alami, meskipun ia tidak bisa kembali ke habitat aslinya.
Enclosure Semi-Liar: Harapan Baru
Pembangunan enclosure dimulai sejak 2022. Prosesnya penuh tantangan, mulai dari konstruksi di tengah hutan, pengamanan area bagi satwa maupun petugas, hingga pelatihan orangutan untuk mengenali instruksi masuk dan keluar.
Area ini bukan hanya untuk Jojo. Beberapa orangutan lain yang mengalami nasib serupa, seperti Monte dan Jimo, juga akan menempati enclosure tersebut. Mereka memiliki riwayat panjang hidup dalam kurungan atau disabilitas yang membuat mereka tak bisa kembali ke hutan liar.
“Ini momen yang sangat emosional bagi kami,” ungkap Karmele. “Melihat Jojo berani memanjat pohon, meskipun belum lincah, adalah bukti bahwa ia merasakan secercah kebebasan yang dulu direnggut darinya.”
Pada hari pertama memasuki enclosure, Jojo sempat ragu. Ia hanya keluar sebentar lalu kembali ke kandangnya. Namun seiring waktu, ia mulai berani menjelajah lebih jauh dan menikmati pohon-pohon yang tersedia. Meski tubuhnya cacat permanen akibat pemeliharaan masa lalu, Jojo kini setidaknya memiliki kesempatan hidup lebih alami.
Dukungan Pemerintah dan Mitra
Kehadiran enclosure semi-liar di Ketapang tak lepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup melalui BKSDA Kalbar. Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menilai program ini sebagai solusi nyata untuk kesejahteraan satwa yang tak bisa dilepasliarkan.
“Kami mengapresiasi upaya YIARI dalam mendukung kehidupan yang lebih baik bagi satwa liar seperti Jojo. Enclosure ini membuktikan adanya komitmen jangka panjang untuk melindungi orangutan yang memiliki keterbatasan fisik atau kesehatan,” kata Murlan.
“Dengan fasilitas ini, kesejahteraan satwa bisa dipastikan, sekaligus mendukung konservasi orangutan dan satwa liar lainnya di tingkat tapak,” sambungnya.
Makna Lebih Dalam dari Kisah Jojo
Kisah Jojo bukan sekadar cerita tentang seekor orangutan yang menemukan kembali kebebasan kecilnya. Lebih dari itu, kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap makhluk hidup berhak mendapatkan perlakuan layak.
Hari Orangutan Internasional yang jatuh pada 19 Agustus setiap tahun memberi momentum penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab manusia terhadap satwa liar. Jojo menjadi simbol bahwa meskipun ada kerusakan yang tak bisa dipulihkan, masih ada ruang untuk menghadirkan harapan.
Kini, di bawah rindangnya pepohonan enclosure semi-liar, Jojo mungkin tidak akan pernah benar-benar kembali ke hutan liar. Namun ia telah memperoleh sesuatu yang jauh lebih berharga dibanding masa lalunya: kesempatan hidup lebih bermartabat.
Leave a Reply