PONTIANAK, RUAI.TV – Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Emilwan Ridwan, memaparkan secara tegas rangkaian penyimpangan yang menyeret dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah pembangunan Gedung SMA Mujahidin.
Emilwan menyoroti langsung tindakan IS dan MR yang menurut penyidik memicu kerugian negara dan merusak tujuan pembangunan fasilitas pendidikan tersebut. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menggelontorkan dana hibah sebesar Rp22,042 miliar kepada Yayasan Mujahidin pada 2020 hingga 2022.
Anggaran itu secara spesifik tertuang dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk pembangunan Gedung SMA Mujahidin. Namun, penyidik menemukan perbedaan besar antara rencana dan pelaksanaan. Ahli fisik mencatat kekurangan volume dan mutu pekerjaan senilai Rp5,97 miliar. Temuan itu membuka pintu pengungkapan penyimpangan yang dilakukan pihak panitia pembangunan.
Emilwan menjelaskan bahwa penyidik menemukan pelanggaran pertama pada aspek penerimaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana hibah. Panitia pembangunan mengelola dana tidak sesuai rincian RAB, padahal regulasi Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 77 Tahun 2020 menempatkan tanggung jawab penuh pada penerima hibah.
“Kami melihat panitia mengabaikan aturan dan bertindak di luar mandat, sehingga dana hibah tidak mengalir sesuai desain program,” tegas Emilwan.

Pelanggaran kedua muncul ketika penyidik menelusuri dokumen perencanaan. NPHD, proposal, dan RAB sama sekali tidak mencantumkan anggaran biaya perencanaan, honor, maupun insentif panitia. Namun, IS dan MR justru menggunakan dana hibah untuk membayar biaya perencanaan tahun 2020 kepada MR sebesar Rp469 juta. Selain itu, panitia juga menarik insentif Rp198,72 juta pada 2022.
“Mereka menyusun dokumen tanpa komponen tersebut, tetapi menggunakan anggaran untuk hal yang tidak pernah tercantum. Ini tindakan yang sangat terang benderang melanggar aturan,” ujar Emilwan.
Dari dua pelanggaran itu, penyidik menilai IS memegang peran sentral. Sebagai Ketua Lembaga Pembangunan Yayasan Mujahidin dan Ketua Panitia Pembangunan, IS memilih tidak menjalankan tugas pengawasan dan koordinasi.
Kelalaian itu berkontribusi besar terhadap rendahnya mutu dan volume pekerjaan. Ia juga memutuskan penggunaan dana hibah untuk biaya perencanaan dan insentif panitia tanpa dasar aturan.
“IS bertanggung jawab penuh atas keputusan yang menyimpang dan menyebabkan pekerjaan tidak sesuai standar,” kata Emilwan.
MR sebagai perencana, penyusun RAB, dan Ketua Tim Teknis juga memikul tanggung jawab besar. Penyidik menilai MR mengabaikan fungsi pengawasan sehingga kontraktor bekerja tanpa kendali kualitas. Lebih jauh, MR menerima biaya perencanaan yang tidak tercantum dalam RAB.
“MR berperan ganda dan menyalahgunakan posisinya untuk mengamankan keuntungan pribadi,” tambah Emilwan.
Atas perbuatannya, penyidik menjerat keduanya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kejati Kalbar menahan keduanya di Rutan Kelas IIA Pontianak selama 20 hari sejak 17 November hingga 6 Desember 2025 untuk memastikan proses penyidikan berjalan lancar dan menghindari upaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Kasus hibah Mujahidin ini turut menarik perhatian mantan Gubernur Kalbar, Sutarmidji. Pada 21 September 2025, ia merespons isu simpang siur terkait hibah tersebut. Ia juga telah menjalani beberapa kali pemeriksaan sebagai saksi.
“Saya beserta keluarga merasa terganggu atas simpang siur masalah hibah kepada Yayasan Mujahidin. Sebagai tanggung jawab moral dan yuridis, saya beri kuasa kepada Kejati Kalbar. Surat kuasa khusus ini bisa diambil kapan saja dibutuhkan,” ujar Sutarmidji.
Emilwan memastikan Kejati Kalbar mengusut kasus ini secara transparan dan profesional. “Kami menindak setiap pelanggaran dengan tegas. Kasus ini menyangkut dana publik dan masa depan pendidikan. Kami tidak menoleransi tindakan yang merugikan masyarakat,” tutupnya.















Leave a Reply