Arsip

Investigasi Restorasi Gambut, Potret Degradasi dan Tantangan di Tujuh Provinsi

Salah satu lahan gambut yang dijadikan lahan dan lokasi perusahaan. (Foto/Pantau Gambut)
Advertisement

PONTIANAK, RUAI.TV – Studi investigasi restorasi gambut oleh Pantau Gambut, yang dilakukan bersama tujuh Simpul Jaringan (SJ) di tujuh provinsi, mengungkap berbagai tantangan dan dampak dari bencana kebakaran, deforestasi, dan degradasi lahan gambut.

Muhammad Hairul Sobri, Koordinator SJ Pantau Gambut Sumatera Selatan, menjelaskan bahwa kebakaran dan degradasi lahan gambut di wilayahnya menyebabkan pelepasan emisi gas rumah kaca, kabut asap, hilangnya keanekaragaman hayati, dan dampak sosial ekonomi.

“Industri ekstraktif seperti kebun hutan dan perkebunan sawit menguasai lebih dari 70% kawasan gambut di Sumsel,” ujarnya.

Advertisement

Ia menambahkan bahwa upaya pencegahan dan pemulihan seperti pembentukan BRG belum maksimal karena industri-industri tersebut masih di beri ruang untuk mengeksploitasi lahan gambut.

Pemulihan lahan gambut akan sulit berhasil selama negara mengakomodir kepentingan dua industri ini dalam satu kesatuan hidrologis gambut (KHG).

Di Papua, Koordinator SJ Pantau Gambut, Sulfianto, mengatakan restorasi gambut minim pemantauan.

“Hampir tidak ada lembaga pemerintah yang tertarik memantau isu ini, padahal ekosistem gambut di wilayah izin perusahaan terdegradasi,” tuturnya.

Sementara itu, Hendrikus Adam, Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalbar yang juga Direktur Eksekutif Walhi, menyatakan bahwa praktik ekonomi ekstraktif di ekosistem gambut melalui kanalisasi melahirkan kerusakan ekologis dan krisis iklim serta masalah sosial.

“Pemulihan gambut di lapangan jauh dari harapan. Ketidakpatuhan pemilik konsesi tidak diimbangi dengan tindakan tegas dari pihak terkait,” ungkapnya.

Ferry, Koordinator SJ Pantau Gambut Jambi, berpendapat bahwa restorasi setengah hati di konsesi PT. PDIW, PT. PBP, dan PT. BGR di KHG Sungai Batanghari-Air Hitam Laut merusak fungsi gambut sebagai penyangga air dan habitat keanekaragaman hayati.

“Upaya restorasi yang menjadikan lahan terbakar sebagai HTI justru rawan terbakar dan merusak fungsinya,” tegasnya.

Ibrahim dari SJ Pantau Gambut Riau/Kaliptra menyoroti bahwa restorasi gambut di Riau lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. “Sekat kanal rusak, sumur bor tidak berfungsi, dan revitalisasi ekonomi hanya mimpi,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa anggaran besar yang dikeluarkan negara tidak berdampak signifikan pada ekosistem atau masyarakat.

Ahmad Saini dari Nugal Institut menilai bahwa ekosistem gambut di Kaltim mengalami degradasi signifikan dan memerlukan pemulihan.

Pemerintah provinsi belum memiliki program pemulihan atau infrastruktur pencegahan kebakaran lahan seperti sekat kanal dan sumur bor. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan kanal menghilangkan tutupan pohon sebagai habitat flora dan fauna.

Ekosistem gambut di KHG Kedang Rantau-Sabintulung, yang memiliki fungsi lindung, terancam oleh HGU perkebunan kelapa sawit PT Agrojaya Tirta Kencana. Rantai pasok global dari perkebunan ini memasok perusahaan besar seperti Wilmar Internasional dan Apical Group.

Degradasi ini mengancam kehidupan komunitas lokal yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem gambut, termasuk spesies endemik seperti Pesut Mahakam yang kini jarang terlihat.

Nasir, SJ Pantau Gambut Aceh dari Walhi Aceh, menyatakan bahwa menjaga gambut berarti menjaga kehidupan.

“Gambut adalah rumah bagi air, ketika rumah dirusak, air akan hilang, yang tersisa hanyalah bencana ekologis,” ujarnya.

Advertisement