Arsip

AMAN Kalbar Nilai Banjir Akibat Kebijakan Pemerintah yang Buruk

Ketua Pelaksana Harian (PH) Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Tono. (Foto/ruai.tv)
Advertisement

PONTIANAK, RUAI.TV – Banjir besar kembali merendam berbagai wilayah di Kalimantan Barat setelah hujan deras mengguyur daerah itu selama beberapa hari berturut-turut.

Aktivitas ekonomi masyarakat lumpuh, rumah dan lahan terendam, sementara kerugian materi terus bertambah. Namun bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, akar persoalan ini jauh lebih dalam daripada sekadar tingginya curah hujan.

Ketua Pelaksana Harian (PH) Wilayah AMAN Kalbar, Tono, menyebut banjir yang terus berulang merupakan konsekuensi dari buruknya kebijakan pemerintah dalam mengelola ruang hidup dan lingkungan.

Advertisement

Ia menegaskan bahwa pemerintah berperan besar dalam memperparah kondisi alam melalui masifnya penerbitan izin kepada industri ekstraktif.

“Bencana banjir tidak hanya dipicu curah hujan yang tinggi. Masifnya penerbitan perizinan terhadap industri ekstraktif yang membuka hutan dan lahan telah berkontribusi besar terhadap meningkatnya banjir di hampir seluruh daerah di Kalimantan Barat,” ujar Tono.

Ia menyoroti bahwa deforestasi di Kalimantan Barat meningkat dari tahun ke tahun. Provinsi ini bahkan menempati posisi nomor dua tingkat kehilangan hutan tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan Timur.

Tono menilai fakta ini menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah tidak memprioritaskan keberlanjutan lingkungan. Tono menjelaskan bahwa masyarakat adat selama ini menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan dengan kearifan lokal.

Banyak komunitas adat berhasil mempertahankan kawasan hutan selama puluhan bahkan ratusan tahun tanpa merusaknya. Salah satu contoh sukses yang ia sebut adalah komunitas Dayak Iban Sungai Utik di Desa Jelai Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu.

Komunitas tersebut menjaga hutan adat mereka secara turun-temurun dan upaya itu mendapat pengakuan dunia internasional melalui berbagai penghargaan. Namun ironisnya, kata Tono, wilayah adat yang dijaga ketat justru menjadi sasaran pemerintah untuk dieksploitasi.

“Wilayah adat yang dijaga oleh komunitas secara turun-temurun selalu menjadi incaran pemerintah dengan menerbitkan izin kepada pihak lain untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya. Baik untuk perkebunan kelapa sawit, tambang, HTI, maupun program food estate,” ujarnya.

Ia menilai pemerintah menerbitkan izin tanpa mempertimbangkan tata ruang yang mengedepankan keberlanjutan dan kelestarian.

“Perizinan yang diterbitkan lebih berorientasi pada keuntungan semata. Ini sangat bertentangan dengan semangat dunia internasional yang sedang berupaya menekan laju deforestasi untuk menjaga keseimbangan ekologi,” tegasnya.

Menurut Tono, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adat mereka. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, serta berbagai aturan sektoral mengamanatkan perlindungan tersebut.

Sebagai kelompok sosial yang berperan besar dalam menjaga hutan, komunitas masyarakat adat seharusnya mendapatkan pengakuan hukum yang memadai agar mereka memiliki kedaulatan penuh dalam melindungi wilayahnya.

“Dengan adanya pengakuan itu, komunitas masyarakat adat akan semakin kuat dan hutan-hutan yang mereka jaga bisa terus dipertahankan. Dengan demikian, laju deforestasi bisa diminimalisir,” kata Tono.

Namun hingga kini, penetapan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat di Kalimantan Barat masih sangat minim. Ia menyebut data terbaru yang menunjukkan bahwa Kalimantan Barat baru memiliki 53 Surat Keputusan (SK) pengakuan komunitas masyarakat adat dan 32 SK penetapan pengakuan hutan adat.

“Jumlah itu sangat sedikit. Jika lebih banyak komunitas adat dan wilayahnya mendapatkan penetapan pengakuan, lebih banyak hutan yang bisa tetap terjaga dan terselamatkan,” ujarnya.

Tono menegaskan bahwa bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar ruang hidup. Hutan adat memiliki nilai spiritual, sejarah, dan keterikatan dengan leluhur yang membuat mereka menjaga kawasan itu dengan sepenuh hati.

“Hutan adat adalah wilayah sakral. Ketika pemerintah ingin hutan-hutan di Kalimantan Barat tetap lestari untuk masa depan, maka pemerintah harus meningkatkan kebijakan penetapan pengakuan bagi komunitas masyarakat adat,” tegasnya.

Tono menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa banjir yang terus menerjang Kalimantan Barat harus menjadi alarm keras bagi pemerintah. Ia meminta pemerintah berhenti menyalahkan cuaca dan mulai menata ulang kebijakan tata kelola hutan dan lingkungan.

“Banjir ini bukan semata-mata musibah alam. Ini cermin dari kebijakan pemerintah yang buruk. Jika tata kelola hutan tidak di perbaiki, bencana akan terus berulang dan masyarakat yang menjadi korban,” katanya.

Tono berharap pemerintah daerah dan pusat mengambil langkah konkret dengan memperketat izin industri ekstraktif, memperluas pengakuan masyarakat adat, serta memprioritaskan pelestarian lingkungan di setiap kebijakan pembangunan.

Menurutnya, Kalimantan Barat membutuhkan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan, bukan pada kepentingan industri yang merusak.

“Kita harus menjaga hutan untuk masa depan. Kalau tidak, Kalimantan Barat akan kehilangan identitasnya sebagai paru-paru dunia,” tutupnya.

Advertisement