PONTIANAK – Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana rilis tertanggal 14 September 2019 menyebutkan sebanyak 26 perusahaan asal Indonesia, Malaysia dan Singapura disegel karena mengalami kebakaran pada konsesinya dengan luas keseluruhan sekitar 5.531,887 hektar. Sebagaimana diketahui, KLHK dalam rilisnya juga menyebutkan 3 perusahaan asal Malaysia dengan luas total 638,34 hektar dan 1 diantaranya perusahaan asal Singapura dengan luas 138 hektar.
Mencermati data yang diterbitkan KLHK dan membandingkannya dengan temuan lapangan serta analisis yang dilakukan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat menegaskan ada kesalahan input data yang diumumkan. Salah satu diantaranya luas lahan konsesi terbakar milik PT. Ichtiar Gusti Pudi (IGP), anak usaha group Ahmad Zaki Resources Bhd (AZRB) yang merupakan perusahaan perkebunan sawit Malaysia, namun tidak terinput Tim Gakkum KLHK sebagai perusahaan sawit asal Malaysia pada rilis yang disampaikan. Dengan demikian sedikitnya ada 4 perusahaan asal Malaysia yang alami kebakaran pada konsesinya.
“Luasan lahan konsesi PT. IGP yang terbakar dalam rilis tidak sama dengan kondisi riil di lapangan, padahal pada penyegelan tanggal 21 Agustus 2019, Tim Gakkum KLHK cukup lama berada di lapangan. Gakkum KLHK hanya mencatat 40 hektar terbakar dalam rentang tanggal 13 hingga 22 Agustus 2019, padahal angka rilnya mencapai 133,164 hektar,” tegas Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat.
Berdasarkan temuan lapangan dan analisis yang dilakukan, WALHI Kalbar menilai bahwa kebakaran seluas 133,164 hektar jauh lebih luas dibandingkan angka rilis sebelumnya versi pihak perusahaan, pemerintah dan pihak terkait yang hanya menyebutkan sekitar 40 hektar.
“Luas kebakaran pada konsesi sawit PT. Ichtiar Gusti Pudi (IGP) yang disampaikan sejumlah pihak hanya 40 hektar, itu tidak benar, karena dari data lapangan kami overlay dan analisis, luas area kebakaran di konsesi tersebut mencapai 133,164 hektar. Jangan karena ini perusahaan milik asing, maka aparat penegak hukum menjadi takut,” tambah Anton.
Lebih lanjut, Anton menilai bahwa pihaknya saat ini terus memantau sejauhmana keseriusan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian dan Gakkum KLHK pada sejumlah perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat.
“Kita berharap agar proses penyidikan dan penyelidikan yang sedang dilakukan pihak Kepolisian dan Gakkum KLHK dapat berjalan sinergis dan transparan. Penyegelan sejumlah konsesi tidak menghasilkan apa-apa, jika berakhir damai ataupun sekedar melahirkan sanksi administratif. Kepolisian harus mampu masuk, melihat pelanggaran-pelanggaran pidana korporasi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan pemilik konsesi, tidak ada bedanya, perusahaan lokal maupun asing,” ungkap Anton.
Sebagaimana diketahui, kebakaran lahan pada konsesi perkebunan kelapa sawit PT. Ichtiar Gusti Pudi (IGP) di wilayah Muut, Dusun Jelau Belangiran, Desa Pak Mayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyegel perusahaan tersebut pada 21 Agustus 2019 dan hingga kini masih belum ada kabar lebih lanjut.
Selain PT. Ichtiar Gusti Pudi, perusahaan asal Malaysia lainnya yang mengalami kebakaran adalah PT. Sime Indo Agro (SIA), anak perusahaan Minamas/Sime Darby Group yang berlokasi di Kabupaten Sanggau. Berdasarkan pantauan dan analisis WALHI Kalbar, sebanyak 76 titik panas (hotspots) berada dalam wilayah konsesi perusahaan tersebut pada rentang tanggal 1 Agustus hingga 9 September 2019.
Adapun perusahaan asal Malaysia lainnya yang disegel karena alami kebakaran yakni PT. Sukses Karya Sawit (SKS) anak perusahaan IOI Corporation Behard di Ketapang dengan luas area kebakaran 35 hektar dan PT. Rafi Kamajaya Abadi (RKA) perusahaan group TDM Berhard di Melawi dengan luas kebakaran 600 hektar. Sedangkan perusahaan asal Singapura yang turut alami kebakaran yakni perusahaan perkebunan kayu/HTI yakni PT. Hutan Ketapang Industri (HKI) perusahaan group Sampoerna Agro Tbk di Kabupaten Ketapang seluas 138 hektar.
“Kebakaran pada sejumlah konsesi perkebunan asal Malaysia dan Singapura adalah fakta lapangan, kami mengecam penyangkalan yang disampaikan perusahaan-perusahaan asing ini, yang sesungguhnya wujud dari ketidakpatuhan mereka kepada peraturan di Indonesia. Kami mendukung sepenuhnya tindakan penegakan hukum yang tegas kepada entitas perusahaan-perusahaan asing tersebut,” pinta Anton. (Red).
Leave a Reply