PONTIANAK – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat menggelar peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2020, di Pontianak, Minggu (9/8/2020).
Pada acara tersebut disampaikan beberapa hal terkait kondisi masyarakat adat di Kalimantan Barat saat ini oleh Ketua BPH AMAN Kalimantan Barat, Dominikus Uyub dalam pidato Politiknya.
Menurut Domikus Uyub, dalam konteks historisnya, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan 9 Agustus sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), yang pertama kali ditetapkan oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada 23 September 1994. Tanggal 9 Agustus kemudian ditetapkan sebagai tanggal yang bersejarah untuk mengingat pertemuan perdana kelompok kerja PBB tentang Masyarakat Adat di tahun 1982.
Pada momentum inilah isu mengenai Masyarakat Adat mulai dibahas secara serius dan terbuka pada forum internasional. Hingga saat ini, HIMAS dirayakan oleh 476 juta Masyarakat Adat di lebih dari 90 negara di seluruh dunia yang tersebar di benua Afrika, Asia, Eropa, Australia, Amerika dan kawasan Arktik (berdasarkan data Bank Dunia tahun 2018).
HIMAS menjadi sangat penting bagi Masyarakat Adat untuk terus menjadi pengingat perjuangan menuntut pengakuan hak, pengesahan RUU ditengah pelanggaran dan pengingkaran hak-hak Masyarakat Adat yang masih terus dilakukan.
Di Kalimantan Barat, usaha untuk memperjuangan hak-hak Masyarakat Adat terus dilakukan. Gerakan masyarakat adat sudah dimulai oleh para pendiri Gerakan Pancur Kasih sejak tahun 1981 melalui berbagai program, diataranya; ekonomi kerakyatan (credit union), penelitian, pendidikan kritis, advokasi hukum dan pengorganisasian serta pemetaan partisipasi wilayah adat. Dalam rangka mengorganisir isu-isu masyarakat adat, pada 16 Juni 1998 para pendiri Pancur Kasih membentuk Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat (AMA KalBar) sebagai respon atas situasi dan kondisi keterpurukkan masyarakat adat yang masih mengalami perlakuan diskriminasi, penjajahan, penindasan dan peminggiran yang dilakukan terus-menerus, bahkan pemusnahan dan penghancuran terhadap eksistensi masyarakat adat.
“Hingga saat ini, masyarakat adat terus melanjutkan perjuangan untuk mendapat pengakuan dan hak atas hidup, diantaranya; hak atas berladang secara tradisional. Para pengacara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Perkumpulan Pembela Masyarakat Adat Nasional bersama Dewan Adat Dayak dan advokad lainnya, berjuang untuk memberikan pendampingan hukum atas kasus peladang tradisional di Kalimantan Barat. Salah satunya, kasus 6 peladang di Kabupaten Sintang yang mendapat putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sintang, pada Maret 2020 lalu,” Jelas Dominikus Uyub dalam Pidato Politiknya.
Menurutnya, Perjuangan Masyarakat Adat juga terus bergerak untuk meraih hak atas Wilayah Adat dan Hutan Adat mereka. Tahun 2012, melalui putusan MK, masyarakat adat telah merebut wilayah adat dengan melakukan yudisial review terhadap UU No. 41 Tentang Kehutanan, melalui putusan MK.35/PUU-X/2012. Putusan MK menyatakan bahwa: “Hutan Adat adalah hutan yang berada di Wilayah Adat, dan bukan lagi Hutan Negara”. Dengan adanya putusan itu, diharapkan ada aturan turunan yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat.
Gerakan masyarakat adat di Kalimantan Barat juga telah mendorong tujuh Peraturan Daerah tentang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; yakni Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Kapuas Hulu.
“Implementasi dari mandat PERDA tersebut, adalah telah ditetapkan sebanyak 12 komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Bupati, serta sepuluh Surat Keputusan penetapan Hutan Adat oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Kalimantan Barat,” terangnya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh AMAN KALBAR, PPSDAK, Walhi KALBAR, dan BRWA, Setidaknya ada 1,7 juta Wilayah Adat di Kalimantan Barat yang telah dipetakan secara partisipatif oleh Masyarakat Hukum Adat. Dari data tersebut, telah terbit tujuh unit PERDA tentang Pengakuan dan Perlindungan Mayarakat Hukum Adat.
Terdapat 16 Surat Keputusan Bupati tentang pengakuan Masyarakat Hukum Adat di empat kabupaten, dengan luas wilayah mencapai 166.592,18 hektar, dengan potensi hutan adat mencapai 66.943,90 hektar. Dari luas hutan adat tersebut, baru 4.626,30 hektar yang telah mendapatkan SK Menteri Lingkungan Hidup, dan sekitar 62.317.60 hektar yang harus diverifikasi teknis oleh KLHK agar mendapat SK Menteri Lingkungan Hidup. Adapun Masyarakat Hukum Adat di tujuh kabupaten di Kalimantan Barat yang telah memiliki PERDA adalah sebagai berikut:
No Kabupaten PERDA MHA yang Sudah Mendapatkan Pengakuan
1 Landak Peraturan Daerah Kabupaten Landak Nomor 15 Tahun 2017 Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Masayarakat Hukum Adat Kabupaten Landak.
1. MHA Kanayatn Binua Lumut Ilir (Hutan Adat Samabue)
2. MHA Kanayatn Binua Laman Garoh.
3. MHA Kanayatn Binua Kaca’ Tangah.
2 Bengkayang Peraturan Daerah Kabupaten Bengkayang Nomor 4 Tahun 2019. Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
1. MHA Bekati (Hutan Adat Pikul)
2. MHA Bekati (Hutan Adat Temua)
3. MHA Bekati Riuk (Hutan Adat Rage)
4. MHA Banyadu/Banua Taria’ (Hutan Adat Gunung Jalo)
3 Sanggau Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 1 Tahun 2017. Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
1. MHA Ketemenggungan Tae
2. MHA Ketemenggungan Sisang (Kampung Segumon)
3. MHA Ketemenggungan Iban Sebaruk
4. MHA Ketemenggungan Sisang (6 Kampung)
5. MHA Ketemenggungan Bonua Jongkakng Tobuas
6. MHA Ketemenggungan Jongkakng Bonua Tumo’k
4 Sekadau Peraturan Derah Kabupaten Sekadau Nomor 8 Tahun 2018. Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
1. MHA DE’SA (Hutan Adat Tawang Panyai)
5 Melawi Peraturan Derah Kabupaten Melawi Nomor 4 Tahun 2018. Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
1. MHA DE’SA (Hutan Adat Tawang Panyai)
2. MHA Dayak Limbai Kelaet
3. MHA Dayak Laman Tawa (Kampung Teluwai)
4. MHA Dayak Laman Tawa (Kampung Boyunt)
5. MHA Dayak Laman Tawa (Kampung Karang Panjang)
6 Sintang Peraturan Derah Kabupaten Sintang Nomor 12 Tahun 2015 Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
7 Kapuas Hulu Peraturan Derah Kabupaten Sintang Nomor 12 Tahun 2015 Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
1. MHA Dayak Iban
Pada kenyataannya kata Dominikus Uyub, masih ada beberapa kabupaten yang belum mengimplementasikan PERDA tersebut, dibuktikan dengan masih adanya beberapa kabupaten yang belum memiliki PERDA tentang Pengakuan dan Perlindugan Masyarakat Adat.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Kapolda Kalimantan Barat telah mengeluarkan maklumat tentang larangan membakar hutan dan lahan yang meresahkan masyarakat peladang. Keresahan dan ketakutan muncul karena adanya masyarakat adat yang di tangkap karena mambakar lahan untuk berladang, seperti yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
“Oleh sebab itu, AMAN KALBAR menyadari, perlunya upaya progresif untuk mempercepat pengakuan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat dan terus mendorong pengimplementasian PERDA pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, melaui penerbitan SK Bupati,” tututnya.
Ia juga menambahkan, berangkat dari pencapaian dan kondisi diatas dan dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) 2020, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat mengajak rekan-rekan media untuk hadir dan berperan dalam mempublikasikan tantangan dan capaian serta rekomendasi perjuangan Masyarakat Adat bersama dengan AMAN Kalimantan Barat dalam menciptakan upaya Mempercepat Pengakuan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat Melalui Implementasi Perda.
Dengan harapan, diakuinya Masyarakat Adat secara hukum, maka Masyarakat Adat bebas untuk mencari penghidupan, berladang tanpa intimidasi, sehingga kedulatan pangan dapat diwujudkan.
Pada akhirnya, kepada semua Masyarakat Adat di manapun berada, selamat merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Teruslah berjuang membela hak dan kesejahteraan Masyarakat Adat,” pungkasnya. (Red).
Leave a Reply