KAPUAS HULU – Beberapa warga di Kecamatan Silat Hilir, Kapupaten Kapuas Hulu, saat ini mulai membakar ladang untuk lahan pertanian.
Mereka memilih membakar ladang secara bergantian hari dengan jarak 3-5 hari bagi warga yang sudah merasa cukup ladangnya dibakar.
Untuk mengantisipaai kebakaran merembet, sebelum membakar warga jauh hari menyiapkan sumber air dekat ladang untuk disedot dan menyiram batas-batas ladang dengan hutan.
Pada saat membakar, warga sudah menebas sekeliling ladang (sekat bakar), dan saat membakar, setiap titik yang rentan api menyebar dijaga dan disemprot, bahkan ditunggu sampai Pukul 21.00 WIB ke subuh dini hari.
Salah seorang warga yang membakar ladangnya dengan luas sekitar 1 hektar mengaku, setelah selesai membakar, harus tidur di lokasi ladang untuk menjaga api, hal itu dilakukan dikhawatirkan ada titik api yang masih hidup.
“Kami bakar paling lama 1 jam saja apinya, karena sudah diantisipasi, sehingga tidak menyebabkan asap banyak dan api menyasar ke kebun kita yang lain.” katanya.
Ketika ditanya mengapa masyarakat disana memilih berladang? Mereka mengatakan hal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bisa bertahan selama satu tahun sekaligus untuk menanam sayur mayur atau tanaman tumpang sari dengan padi sehingga mereka tidak perlu membeli sayur ke pasar.
“Kita ini berladang karena harus berladang, Mau tidak berladang, macam mana nanti, berladang kalau kita pandai dan bijak pasti cukup makan setahun, sayur-sayur kita tidak beli karena hampir semua jenis sayur kita tanam. Kalau untuk sayalah,” tutur seorang petani yang tidak mau disebutkan namanya.
Ketika disinggung petani sebagai penyebab kabut asap saat ini, ia membantah, karena menurutnya yang mengatakan seperti itu adalah oknum yang hanya bisa bicara ditempat duduk saja, terlebih di zaman dahulu juga banyak orang berladang namun kabut asap tidak separah seperti saat ini, sementara ia menilai saat ini peladang semakin berkurang, namun malah kabut asap yang semakin parah.
“Itu yang ngomong dari tempat duduk jak, dari dulu banyak orang beladang ndak ada asap. Kan dulu banyak beladang kita. Sekarang malah makin sikit orang beladang.” Katanya.
“Kami bukan mau beladang trus, manusia inikan banyak, pemerintah tidak mampu mengajar kami hidup. Modal tidak cukup, mau pinjam uang bungga besar kalau di CU. kalau di Bank bukan mudah juga syaratnya, kita ini orang kampung. Kalah kami harus fokus ke kebun sayur, atau tanaman lain, kami pasarkan kemana, yang nampungnya siapa. Contoh harga karet, kita ditekan habis-habisan, yang banyak untung yang pandai ngomong jak.” tutupnya. (Red).
Leave a Reply