PONTIANAK, RUAI.TV – Karungut, salah satu bentuk sastra lisan khas masyarakat Dayak Ngaju – Uut Danum, kembali mendapatkan perhatian publik di Kalimantan Barat. Seni tutur yang berakar dari tradisi Kaharingan ini dinilai bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga media sakral yang menyimpan pesan moral, mitologi, hingga nasihat leluhur.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan Karungut menghadapi tantangan besar. Arus budaya populer kerap membuat seni lisan ini dipandang sebagai sesuatu yang kuno. Padahal, Karungut menyimpan nilai luhur yang mencerminkan identitas masyarakat Dayak.
Di tengah ancaman tersebut, sejumlah komunitas seni di Kalimantan Barat mulai mendorong upaya revitalisasi agar generasi muda kembali mengenal dan mencintai Karungut.
Akar dan Nilai Sakral Karungut
Sejarah Karungut erat kaitannya dengan keyakinan Kaharingan. Tembang ini dipercaya lahir dari “Karunya,” nyanyian yang mengiringi turunnya manusia pertama oleh Ranying Hatalla melalui Palangka Bulau.
Dalam praktiknya, Karungut dipakai dalam berbagai upacara adat, mulai dari ritual keagamaan, pesta budaya, pernikahan, hingga tembang pengantar tidur anak pada masa lalu.
Karungut tidak sekadar rangkaian pantun atau gurindam. Melalui bait-baitnya, pesan moral, mitologi penciptaan, hingga komunikasi dengan roh leluhur disampaikan dengan penuh penghormatan.
Keistimewaan lain, Karungut memiliki fleksibilitas bahasa. Bahasa Sangiang yang menjadi akar spiritualnya kini kerap disesuaikan dengan bahasa Ngaju modern agar lebih mudah dipahami masyarakat luas.
Warisan yang Terancam Tergerus
Popularitas Karungut tidak setenar musik modern yang akrab di telinga generasi muda. Minimnya ruang apresiasi membuat sebagian besar masyarakat hanya mengenalnya sebatas folklore atau seni pertunjukan tradisional tanpa memahami makna mendalam di baliknya.
Padahal, maestro Karungut seperti Syaer Sua, Bilton, Ucun A. Tingang, dan Ujai Mura telah menorehkan jejak kuat dalam menjaga nyanyian sakral ini tetap hidup.
Di wilayah aliran Sungai Kahayan, Kapuas, Katingan, dan Barito, Karungut masih kerap diperdengarkan. Sementara di Kalimantan Barat, jejaknya dapat ditemui di Kecamatan Serawai, Momalluh, Menukung, Ella Hilir, hingga Kalis.
Namun, pengaruh budaya global yang semakin masif berpotensi membuat Karungut perlahan hilang bila tidak dilestarikan secara serius.
Adaptasi dan Eksplorasi Baru
Upaya pelestarian kini tidak hanya berfokus pada mempertahankan bentuk asli, tetapi juga membuka ruang bagi adaptasi kreatif. Karungut yang biasanya diiringi instrumen tradisional seperti kacapi, rabab, katambung, dan kollatung, kini mulai dipadukan dengan musik modern. Perpaduan ini melahirkan warna baru tanpa menghilangkan akar spiritualnya.
Keterlibatan musisi dan seniman Dayak dalam mengeksplorasi Karungut dengan sentuhan kontemporer memberi harapan baru. Eksperimen musikal yang menghadirkan harmoni antara tradisi dan modernitas diharapkan mampu menjangkau lebih banyak pendengar, khususnya kalangan muda.
Karungut sebagai Ruang Edukasi
Lebih dari sekadar pertunjukan seni, Karungut kini dipandang sebagai media edukatif. Melalui syair-syairnya, masyarakat diajak memahami kembali kearifan lokal yang sarat pesan moral dan filosofi kehidupan.
Generasi muda dapat menemukan identitas budayanya sendiri lewat pemahaman Karungut, sementara masyarakat luas bisa menjadikannya ruang refleksi di tengah derasnya arus budaya global.
Keterlibatan komunitas seni lokal, akademisi, dan lembaga kebudayaan menjadi faktor penting dalam memastikan Karungut tetap hidup. Pengenalan Karungut di ruang pendidikan maupun festival seni membuka jalan bagi pelestarian yang berkelanjutan.
Harmoni Masa Lalu dan Kini
Karungut tidak lagi hanya diposisikan sebagai warisan yang harus dilestarikan, melainkan juga sebagai inspirasi kreatif. Perpaduan antara musik, tari, teater, hingga visual modern mampu mengangkat Karungut ke panggung yang lebih luas. Dari ruang ritual adat hingga festival seni, Karungut menunjukkan daya hidup yang fleksibel dan beradaptasi.
Keberlanjutan Karungut sangat bergantung pada bagaimana masyarakat menempatkan seni lisan ini dalam kehidupan sehari-hari. Bila hanya dilihat sebagai peninggalan masa lalu, Karungut akan perlahan hilang.
Namun bila dipandang sebagai ruang komunikasi budaya yang relevan, Karungut justru berpotensi berkembang menjadi identitas kolektif masyarakat Kalimantan di masa depan.
Menjaga Identitas di Tengah Globalisasi
Pelestarian Karungut bukan sekadar soal menjaga sebuah seni tradisi. Lebih dari itu, ia adalah upaya mempertahankan identitas dan jati diri masyarakat Dayak di tengah globalisasi. Karungut menjadi pengingat bahwa nilai-nilai luhur tidak boleh hilang meski zaman terus berubah.
Di tengah derasnya arus budaya modern, Karungut berdiri sebagai jejak otentik kearifan lokal. Ia merekam sejarah, mitologi, sekaligus harapan sebuah masyarakat untuk tetap terhubung dengan leluhur. Tantangannya kini adalah bagaimana Karungut bisa terus hidup, dipahami, dan dicintai lintas generasi.
Leave a Reply