Arsip

Rokok Ilegal Ancam Industri Nasional, Negara Rugi dan Publik Minim Edukasi

Pakar hukum pidana Universitas Tanjungpura, Hermansyah, menegaskan peredaran rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran biasa, tetapi juga merugikan negara dari sisi penerimaan cukai. (Foto/ruai.tv)
Advertisement

PONTIANAK, RUAI.TV – Peredaran rokok ilegal atau tanpa pita cukai terus menjadi perhatian publik. Pengungkapan oleh Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat (Kalbagbar) pada 1 Agustus dan 14 Agustus 2025 seharusnya menjadi momentum penegakan hukum yang transparan.

Namun hingga kini, hasil penindakan itu belum dirilis ke publik, baik terkait barang bukti maupun pihak yang terlibat di baliknya dengan alasan masih menunggu jadwal pimpinan.

Pakar hukum pidana Universitas Tanjungpura, Hermansyah, menegaskan peredaran rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran biasa. Rokok ilegal tidak hanya mengalahkan produk rokok resmi dalam negeri, tetapi juga merugikan negara dari sisi penerimaan cukai.

Advertisement

“Indonesia ini salah satu produsen rokok terbesar di dunia, dengan ribuan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Kalau rokok ilegal terus masuk, bukan hanya negara yang rugi dari sisi cukai, tapi juga industri dalam negeri terancam,” tegas Hermansyah saat di wawancarai khusus ruai.tv, Senin (22/9)

Hermansyah menjelaskan, hukum pidana mengenal dua prinsip dasar kejahatan, yakni malum in se dan malum prohibitum.

Malum in se itu perbuatan yang dari hakikatnya memang jahat, seperti pembunuhan, yang ditolak semua agama dan budaya. Sedangkan malum prohibitum adalah perbuatan yang awalnya tidak jahat, tapi menjadi dilarang karena ada kepentingan negara. Penyelundupan, termasuk rokok ilegal, masuk dalam kategori ini,” paparnya.

Menurutnya, penyelundupan rokok bukan sekadar persoalan kriminal biasa, tetapi berdampak langsung pada kepentingan nasional. “Ketika rokok ilegal beredar, industri resmi terganggu, penerimaan negara menurun, dan lapangan kerja di sektor rokok bisa terancam,” ujar Hermansyah.

Hermansyah menilai salah satu penyebab maraknya peredaran rokok ilegal adalah lemahnya edukasi masyarakat sebagai konsumen. Bagi sebagian besar perokok, harga murah menjadi pertimbangan utama, bukan soal legalitas produk.

“Masyarakat kita belum teredukasi dengan baik. Yang penting mereka bisa merokok setelah makan, bisa santai dengan harga yang lebih murah. Mereka tidak peduli apakah rokok itu legal atau ilegal, apalagi soal kontribusinya terhadap negara,” jelasnya.

Kondisi ini, kata Hermansyah, membuat rokok ilegal semakin sulit diberantas. Sementara industri rokok resmi harus menanggung beban persaingan tidak sehat, termasuk ancaman menurunnya jumlah tenaga kerja.

“Kalau industri dalam negeri kalah, ribuan pekerja bisa kehilangan mata pencaharian. Negara pun rugi besar karena cukai adalah salah satu sumber penerimaan penting,” tambahnya.

Hermansyah menyoroti lemahnya transparansi dalam penegakan hukum kasus rokok ilegal, termasuk pengungkapan terbaru Bea Cukai Kalbagbar. Hingga kini, belum ada informasi terbuka soal barang bukti, pelaku, maupun pihak yang diduga membekingi jaringan tersebut.

“Publik berhak tahu. Kalau hasil penindakan tidak dirilis, masyarakat jadi bertanya-tanya, apakah kasus ini ditangani serius atau hanya berhenti di tengah jalan? Transparansi itu penting untuk menunjukkan bahwa hukum benar-benar bekerja,” tegasnya.

Ia menambahkan, publikasi pengungkapan kasus juga bisa memberi efek jera bagi pelaku maupun masyarakat. “Kalau aparat terbuka, misalnya menggelar konferensi pers dengan barang bukti, masyarakat jadi sadar bahwa rokok ilegal itu memang kejahatan. Dampaknya, konsumen bisa lebih berhati-hati,” ujarnya.

Hermansyah menilai aparat penegak hukum kerap terlihat setengah hati dalam menindak kasus rokok ilegal. Hal ini berbeda dengan penanganan kejahatan yang sejak awal dianggap “jahat mutlak” seperti narkoba atau pembunuhan.

“Dalam kasus rokok ilegal, seringkali aparat terkesan ragu. Padahal dampaknya terhadap negara tidak kalah besar. Kalau cukai berkurang, anggaran negara untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ikut terpengaruh,” katanya.

Ia menegaskan, aparat harus tegas menindak peredaran rokok ilegal tanpa pandang bulu. “Siapapun yang terlibat, termasuk pihak yang membekingi, harus dibuka ke publik. Kalau hanya pelaku lapangan yang di tindak, masalah tidak akan pernah selesai,” jelasnya.

Hermansyah menekankan penegakan hukum saja tidak cukup. Pemerintah perlu mengintegrasikan pendekatan hukum pidana dengan langkah non-penal, seperti edukasi konsumen dan penguatan industri rokok resmi.

“Kalau hanya mengandalkan hukum, peredaran rokok ilegal tidak akan berhenti. Pemerintah harus turun tangan memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa membeli rokok ilegal sama saja merugikan negara dan mengancam lapangan kerja,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, harga produk resmi juga harus dibuat lebih kompetitif agar masyarakat tidak selalu tergiur dengan harga murah. “Kalau industri dalam negeri bisa memproduksi dengan harga terjangkau, konsumen tentu lebih memilih rokok resmi yang jelas kualitas dan legalitasnya,” tambahnya.

Hermansyah mengingatkan bahwa publik kini semakin kritis terhadap aparat. Ketidaktransparanan hanya akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

“Kalau publik melihat aparat tidak serius, kepercayaan bisa semakin jatuh. Padahal kepercayaan masyarakat adalah modal penting bagi aparat penegak hukum. Karena itu, ketegasan dan keterbukaan menjadi syarat mutlak,” pungkasnya.

Advertisement