BANTEN, RUAI.TV – 14 tahun berlalu, namun Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat belum juga disahkan Pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Transisi kekuasaan di tingkat nasional dari Pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada tahun 2024 lalu, belum menunjukkan tanda-tanda angin segar terhadap kepastian nasib sekitar 40 hingga 70 juta Masyarakat Adat yang tersebar di seluruh Nusantara.
Data Catatan Akhir Tahun 2024 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan peristiwa perampasan wilayah adat mencapai 2,8 juta hektar, yang disertai tindakan kriminalisasi dan kekerasan.
RUU Masyarakat Adat dinilai sangat penting sebagai dasar hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat yang selama ini terabaikan.
Dengan adanya kepastian hukum yang jelas, diharapkan dapat mencegah konflik antara Masyarakat Adat dengan pihak lain terkait hak atas tanah dan sumber daya alam.
RUU ini juga penting untuk menjaga keberlangsungan budaya, tradisi dan kearifan lokal masyarakat adat serta melindungi lingkungan hidup yang menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.
Pada momentum peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2025, yang digelar di Wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan Guradog, Kabupaten Lebak, Banten, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi menyampaikan.
“Hak kita sebagai Masyarakat Adat secara nasional belum diakui melalui Undang-Undang Masyarakat Adat. Maka kita terus menyerukan untuk sahkan RUU Masyarakat Adat”, ujarnya.
Rukka menambahkan. “Di Kalimantan dan Papua, ada saudara-saudara kita yang menjaga hutan-hutan terbaik, yang menjaga ekosistem terbaik, tapi justru dihancurkan untuk menjadi Food Estate” tegasnya.
Desakan yang sama juga disampaikan Ketua Adat Kasepuhan Guradog, Haji Rahman. Di hadapan Perwakilan Menteri ATR BPN, Perwakilan Menteri Pertanian, Perwakilan Menteri Hukum dan HAM, Gubernur Banten, Wakil Bupati Lebak dan seluruh Jajaran Forkopimda, serta dihadapan ratusan perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh penjuru Nusantara, Haji Rahman menyampaikan.
“Tinggal selangkah lagi Undang-Undang Masyarakat Adat segera disahkan. Supaya kami tidak menjadi tamu di tanah leluhur kami”, ujarnya.
Haji Rahman juga menegaskan bahwa Kasepuhan Guradog sudah ada jauh sebelum Negara ini hadir.
“Sejarah Kasepuhan Guradog berdiri di tahun 1600. Setelah itu 100 tahun pindah ke Citorek. Ini sejarah kami. Sampai sekarang Alhamdulillah kami masih ada,” tegasnya.
Saat diwawancarai terpisah, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANAS), Stefanus Masiun menyampaikan pernyataan yang sama.
“Lewat perayaan ini saya mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat,” tegasnya.
HIMAS yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus bukan sekadar perayaan tahunan. Bagi Masyarakat Adat di Indonesia, HIMAS adalah momentum perlawanan dan pengingat atas sejarah panjang perampasan hak, marginalisasi, serta ancaman terhadap keberadaan dan keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.
HIMAS tahun ini mengangkat tema nasional “Memperkuat Hak Menentukan Nasib Sendiri: Jalan Menuju Kedaulatan Pangan”.
Tema ini ingin menegaskan bahwa Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah pondasi utama bagi keberlangsungan Masyarakat Adat.
Tanpa pengakuan atas tanah, sumber daya, serta kedaulatan atas pengetahuan lokal, masyarakat adat kehilangan pijakan untuk menjaga hidup dan menata generasi mendatang.
Leave a Reply