MANGGARAI, RUAI.TV – Rumah Adat Gendang Tere di Desa Mocok, Poco Leok, menjadi saksi jeritan puluhan komunitas adat dari berbagai wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), saat Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, datang berkunjung pada 7 Juli 2025.
Dalam forum yang difasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), para tokoh adat menyampaikan langsung berbagai pelanggaran yang mereka alami akibat ekspansi proyek energi, perusahaan, dan kriminalisasi yang merajalela.
Kunjungan Barume bukan sekadar simbolik. Ia hadir untuk mendengar dan mencatat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat adat digerus oleh proyek strategis nasional, terutama proyek geothermal yang dikembangkan tanpa persetujuan komunitas lokal.
Servasius Masyudi Onggal, pemuda adat dari Poco Leok yang akrab disapa Yudi, menyoroti proyek panas bumi yang dijalankan PLN. Ia menegaskan bahwa proyek itu mengancam eksistensi masyarakat adat yang telah lama menghuni wilayah tersebut sebelum negara terbentuk.
Lima elemen ruang hidup orang Manggarai gendang (rumah adat), lingko (kebun komunal), mata wae (mata air), natas labar (ruang interaksi sosial), dan compang (altar pemujaan) berpotensi hilang akibat proyek tersebut.
Yudi juga mengecam keterlibatan aparat keamanan, mobilisasi preman, serta kampanye informasi menyesatkan dari media-media tertentu yang justru memperkeruh keadaan. “Kami bukan penentang pembangunan. Tapi kami menolak dikorbankan demi proyek yang kami tidak setujui,” tegasnya.
Isu serupa mencuat dari komunitas adat lain di Wae Sano, Mataloko, Lembata, hingga Detusoko. Mereka sepakat bahwa proyek geothermal yang menyasar 28 titik panas bumi di NTT dilakukan tanpa proses persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (PADIATAPA), yang menjadi prinsip dasar dalam perlindungan hak masyarakat adat.
Tekanan terhadap komunitas tak hanya datang dari negara dan perusahaan. Di Poco Leok, Elisabeth Lahus, perempuan adat, menyuarakan pengalaman pahit menghadapi intimidasi selama tiga tahun terakhir. “Kami dihina, diinjak martabat kami. Aparat datang silih berganti, seolah kami musuh negara,” ungkapnya.
Konflik lain muncul dari Sumba Timur, saat perusahaan tebu PT Muria Sumba Manis diduga menggusur tanah adat serta merusak situs sakral. Umbu Ndeha dari AMAN Sumba Timur menyebutkan bahwa petani bahkan hanya mendapat air sisa dari bendungan privat perusahaan, sementara lahan mereka dijaga ketat oleh keamanan swasta.
Di Kabupaten Sikka, Antonius Toni dari AMAN Flores Timur membeberkan konflik tanah yang melibatkan perusahaan milik Keuskupan Maumere, PT Krisrama. Lahan adat yang dahulu dipinjamkan kepada pemerintah kolonial Belanda, kini diklaim sebagai HGU milik gereja.
Penolakan warga justru dibalas kriminalisasi: belasan orang dilaporkan, delapan di antaranya dipenjara sejak Maret 2025.
Klaim sepihak terhadap wilayah adat juga dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) di Flores Timur dan Manggarai. Mikael Ane dari Komunitas Ngkiong mengisahkan bagaimana ia dua kali merasakan jeruji besi karena membela tanah adat yang diklaim sebagai bagian dari Taman Wisata Alam Ruteng.
“Saya tetap berdiri. Ini tanah kami, bukan kawasan konservasi sepihak,” katanya lantang.
Menanggapi rangkaian kesaksian tersebut, Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi, menilai NTT sedang menghadapi gelombang besar proyek pembangunan yang menggerus tanah adat. “Pariwisata premium, pertambangan, dan energi besar-besaran hanyalah nama lain dari perampasan,” ujarnya.
Di hadapan seluruh komunitas, Albert Barume menyampaikan bahwa ia bukan hakim yang akan memutuskan perkara. Namun ia berjanji akan mencatat dan menyuarakan semua temuan kepada Dewan HAM PBB. “Suara kalian penting. Keadilan dimulai dari mendengar kebenaran,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa hak-hak masyarakat adat tidak berasal dari pengakuan negara. “Kalian sudah ada sebelum negara berdiri,” ujarnya sambil mengajak komunitas terus melapor pada pelapor khusus PBB lainnya sesuai isu masing-masing.
Kehadiran Barume di Poco Leok memberi harapan baru bagi masyarakat adat NTT. Meski bayang-bayang intimidasi masih menggelayuti, suara mereka kini menggema hingga ke meja-meja tertinggi dunia.
Leave a Reply