Arsip

Sinta Gebze: Saya Tidak Salah, Kami Hanya Ingin Menjaga Hutan Leluhur

Pelapor Khusus PBB untuk Hak Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume menerima dokumen dari seorang ibu dari suku Maklew asal Merauke terkait pelanggaran HAM dan perampasan tanah adat di daerahnya. (Foto/ruai.tv)
Advertisement

JAYAPURA, RUAI.TV – Di hadapan Pelapor Khusus PBB untuk Hak‑Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume, ibu empat anak dari suku Maklew, Sinta Gebze, membeberkan kronologi kekerasan yang ia dan warga kampungnya alami selama mempertahankan tanah dan hutan adat di Merauke.

Pertemuan berlangsung di Jayapura pada 4–5 Juli lalu, bagian dari rangkaian kunjungan Barume untuk mendengar langsung testimoni masyarakat Papua yang terdampak konflik lahan dan proyek berskala besar.

Sinta menuturkan, pengejaran pertama terjadi saat “hari libur” pada 2024. Ia menyebut nama seorang aparat dipanggilnya Pak Bintang bersama sejumlah personel datang mengepung rumahnya karena ia “membantah” rencana perusahaan yang mengklaim sebelas petak hutan adat.

Advertisement

“Saya sudah jelaskan, saya tidak salah. Kalau mau tangkap, tangkap saja, tetapi saya percaya Tuhan,” ujarnya.

Tak berhenti di situ, Sinta mengaku beberapa kali menerima “kiriman uang, beras, dan sirih pinang” yang ia tafsir sebagai upaya membungkam penolakan. Meski merasa tertekan, ia menolak semua pemberian itu dan terus mendesak aparat menghentikan intimidasi.

Di forum yang sama, Sinta mengajak para perempuan dari Sorong sampai Merauke bersatu menolak ekspansi perkebunan yang, menurutnya, telah “menghabiskan dusun, menghancurkan alam, dan mengusir satwa.” Ia menyamakan perjuangan menjaga hutan dengan “seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak.”

Albert K. Barume mencatat seluruh kesaksian. “Mendengar korban secara langsung adalah mandat utama saya,” katanya seraya menegaskan pentingnya kesetaraan bagi masyarakat adat Papua. Ia berjanji membawa laporan lapangan ini ke Dewan HAM PBB di Jenewa untuk ditindaklanjuti.

Warga Maklew menuduh sebuah perusahaan merampas hutan adat untuk perkebunan sawit yang dikaitkan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Mereka menilai keberadaan aparat bersenjata di kampung sebagai bentuk “pengamanan investasi.” Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan dan kepolisian Merauke belum memberikan keterangan resmi.

Sinta menutup kesaksiannya dengan keyakinan, “Tuhan tidak merancangkan kebinasaan bagi orang Papua, melainkan damai.” Ia berharap pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan investor duduk bersama masyarakat adat untuk mencari solusi yang adil tanpa kekerasan.

“Kami bukan melawan pembangunan. Kami hanya menolak kehilangan hutan yang sudah memelihara kami sejak lahir,” tegas Sinta Gebze.

Dalam pertemuan ini ia juga menyerahkan sejumlah dokumen penting kepada pelapor khusus PBB terkait dugaan intimidasi hingga perampasan hutan adat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Daerahnya.

Advertisement