PONTIANAK, RUAI.TV – Dalam catatan sejarah masa kolonial terkait jalur rempah, Kalimantan hampir tidak pernah tersentuh. Namun, menarik menelusuri sejauh mana Kalimantan berkontribusi pada komoditas yang menarik para penjajah mendatangi nusantara.
Dalam seminar “Kalimantan dalam Keberagaman Budaya” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat, Selasa (23/02/2021) di Pontianak, permasalahan ini mengemuka.
Juniar Purba dan Yusri Darmadi, yang sedang mematangkan rencana penelitian, memaparkan, jalur rempah populer di Maluku dan Malaka menurut catatan kolonia. Bagaimana dengan Kalimantan?
Kala itu, Kalimantan lebih populer disebut Pulau Borneo, dan belum terbagi menjadi empat provinsi seperti saat ini. Juga Borneo mencakup seluruh isi pulau Kalimantan, seperti Brunai Darrussalam, Malaysia, dan Indonesia.
Baca juga: Jalur Rempah di Kalimantan Tak Tersentuh di Dokumen Sejarah
Dari penelusuran dokumen sejarah, ditemukan empat dermaga perdanganyan di Pulau Kalimantan.
Kota Borneo di sebelah utara yang ternyata Brunai, di Passer di sebelah timur, di Succadana di sebelah selatan yang ternyata Sukadana (saat ini Ibu Kota Kabupaten Kayong Utara), dan Banjar Masseen juga di sebelah selatan (ternyata ini Banjarmasin yang saat ini ibu kota Kalimantan Selatan).
“Empat pelabuhan besar di masa kolonial ada di Pulau Kalimantan. Namun belum terbukti apakah aktivitasnya mengangkut rempah dari Pulau Borneo, atau kapal-kapal itu sekadar singgah,” katanya.
Selain itu, terminologi rempah juga perlu diteliti lebih jauh. Sebab rempah-rempah yang tercatat di masa kolonial, agak berbeda dengan konsep rempah-rempah pada masa kini.
“Abad XV dan XVI ditemukan catatan mengenai Aceh, Banten, Banjarmasin, Palembang, dan Pantai Kalimantan Timur sebagai pasar lada,” paparnya.
Pentingnya mengetahui jalur rempah, untuk menguak misteri perdagangan masa lampau. Sebab, rempah menjadi satu di antara daya tarik kolonial untuk menjajah nusantara.
Jika sudah terjawab, komoditas rempah di Kalimantan bisa bangkit kembali dan menggairahkan perekonomian. Catatan sejarah bisa menjadi pendorong geliat baru komoditas lokal yang bernilai internasional. (APE/SVE)
Leave a Reply