SEKADAU – Memasuki musim kemarau dan musim berladang saat ini, masyarakat di daerah khususnya yang bercocok tanam di lahan dengan dataran tinggi atau tidak memiliki lahan basah atau sawah mulai melakukan pembukaan ladang dengan luas dibawah dua hektar untuk bertani atau menanam padi.
Selain sebagai tradisi dan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, mengolah ladang dengan cara membakar ini karena tidak ada pilihan lain bagi maysarakat, terlebih program pelapukan kayu atau mengolah ladang dengan cara modern yang digaungkan pemerintah saat ini belum dirasakan secara merata oleh masyarakat.
Seperti yang dilakukan masyarakat Sub Suku Dayak Taman, di Desa Rirang Jati, Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Sekadau ini, sebelum membakar ladang masyarakat memiliki adat tersendiri yang disebut “Adat Ngumpan Ladang”.
Adat “Ngumpan Ladang” ini dilakukan dilokasi ladang yang sudah siap dibakar dengan dilengkapi berbagai peraga adat, seperti Ayam Kampung, Babi, Tuak dan berbagai peraga adat lainnya. Setelah peraga adat ini dipersiapkan secara lengkap oleh pemilik ladang, acara dilanjutkan dengan berdoa sesuai dengan kepercayaan Maysarakat Adat Sub Suku Dayak Taman.
Dalam doa yang dipanjatkan, disampaikan kepada penghuni alam atau Jubata (Tuhan) agar dalam pelaksanaan membakar ladang itu nantinya, api tidak merempet ke lahan lainnya selain ladang yang diperlukan tersebut.
Hal ini dilakukan karena masyarakat Adat Dayak Taman yakin api, ladang, angin dan kehidupan memiliki nilai histori tersendiri dalam perjalan hidup bersama manusia dibumi ini, dan jika hal itu diabaikan dapat berdampak fatal bagi pemilik ladang.
“Berginilah suasana tradisi adat dayak tamant sebelum membakar acara ini disebut ngumpan ladang disediakan ayam dan babi serta empogatnya,” tutur warga Desa Rirang Jati, Aristhon Yanto Senobant, kepada ruai.tv, Jumat (23/8) pagi.
Setelah berbagai ritual ini dilakukan, pemilik ladang juga harus berpantang atau tidak boleh melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan adat. Selain itu usai ritual adat Ngumpan Ladang digelar, pemilik ladang diperbolehkan membakar ladang miliknya, dengan dibantu warga lainnya atau disebut gotong royong. Sebelum membakar pemilik ladang juga sudah menyiapkan cadangan air yang disimpan dalam ember dan diletakan di pinggir ladang yang sudah ditebas atau sudah diladak dalam bahasa Sekadau dengan jarak 2 hingga 4 meter antara ladang dan lahan lainnya.
Disisi-sisi ladang juga dipersiapkan semprot yang dibuat dari bambu (Buluh) yang memiliki kekuatan hingga puluhan meter jika sumpitkan airnya. Sebelum bakar pemilik ladang juga melihat arah angin menggunakan serabutan kepala yang bibakar untuk menghasilkan asap kecil melihat kemana arah angin dan memiliki teknis pola bakar serta dilakukan disore hari diatas pukul 15.00 WIB.
Sesudah dibakar, pemilik ladang tidak langsung pulang begitu saja, melainkan harus menjaga dan memastikan api benar-benar padam meskipun hingga malam hari, hal itu tetap diawasi.
Selain agar api tidak merembet dan tidak menimbulkan kabut asap yang pekat, adat Ngumpan Ropak atau Ngumpan ladang ini juga juga bertujuan agar tidak ada hama yang dapat menganggu hasil pertanian serta meminta agar hasil panen juga melimpah.
“Doa ini meminta kepada sang pencipta supaya si penghuni ladang ini jgn sampai satu pun hama tinggal disini. Tujuan adat ini meminta ke sang pencipta supaya hasil panen berlimpah,” Ujarnya. (Red).
Leave a Reply