Warga yang ditangkap polisi dan dibebaskan karena tak terbukti bersalah, dalam kondisi mengenaskan. Mereka dipukuli, badan, sampai muka memar bahkan ada yang dipaksa makan batu kerikil hingga muntah darah.
BUNTUT penolakan berakhir rusuh, terhadap rencana pembuangan limbah tambang emas PT Angincourt Resource (PT AR), menyebabkan penderitaan dan ketakutan warga Batang Toru, di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Barat (Sumbar).
Dengan dalih mengejar pelaku, polisi menyisir desa-desa di sekitar sungai, menangkapi membabi buta. Sampai kini, ribuan warga laki-laki Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Muara Batang Toru, masih bersembunyi di hutan karena ketakutan akan aksi polisi. Pemukiman pun tinggal perempuan dan anak. Teranyar, polisi menurunkan polisi wanita (polwan), hingga menambah kekhawatiran warga.
Sementara, dari 30 orang lebih yang diamankan polisi karena amuk massa akhir Oktober 2012, atas penolakan penanaman pipa limbah oleh anak perusahaan G Resources ini, 12 orang ditahan, sisanya, dibebaskan. Mereka yang dibebaskan dalam kondisi mengenaskan. Tubuh penuh luka, memar, bahkan ada yang dipaksa makan kerikil hingga muntah darah.
Sebagian warga datang ke Jakarta, untuk mencari keadilan. Perwakilan warga ini melaporkan kasus ke KontraS, lalu bersama-sama lapor ke Komnas HAM dan Kompolnas. Mereka juga bersama Walhi Nasional dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengadukan kasus ini ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Idris Parinduri, warga Batang Toru mengharapkan, Batang Toru menjadi kondusif dan polisi tak makin menciptakan ketakutan bagi warga. “Polisi masih kejar ke hutan-hutan. Hutan di pinggir sungai, ada yang loncat ke sungai, ada yang tak bisa renang. Tak tahu, entah apa nasibnya,” katanya di Jakarta, Minggu(11/11/12).
Setelah warga laki-laki tak ada, polisi menurunkan polwan untuk tangani warga perempuan. “Kalau perempuan mau diambil (diamankan), bagaimana anak-anak?”
Bahkan, saking laki-laki dewasa sudah tak ada di desa, ketika ada orang meninggal dunia, tak ada yang menggali kubur. “Jadi, saat ada warga meninggal dunia, siswa laki-laki diliburkan diminta gali kubur, karena sudah tak ada lagi laki-laki dewasa. Mereka ketakutan karena polisi membabi buta.”
Dia berharap, polisi tak membabi buta dalam penegakan hukum terhadap warga. Sementara, kasus yang menjadi sumber masalah protes warga—yang juga dilaporkan ke polisi—seakan hilang dan dilupakan begitu saja.
“Kan sudah ada warga jadi tersangka, kalau memang mau mengembangkan kasus ada prosedurnya, dari mereka nanti bisa dikembangkan. Bukan lantas masuk desa, menyisir warga baik yang ikut aksi atau tidak.” Polisi pun masih mondar mandir menggunakan barakuda di lorong perbatasan Kecamatan Batang Toru dan Muara Batang Toru.
Sebelum ini, warga sudah mengajukan gugatan keterangan palsu dalam dokumen analisis dampak lingkungan, kepada Polres Tapsel sampai Polda Sumut. Polda sempat memanggil beberapa orang yang menangani amdal. “Tapi ya, karena disinyalir pemda tingkat dua dan polisi sekongkol, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut ,” ucap Idris.
Kepada bupati, Idris meminta, sekiranya bisa membuat kebijakan yang bukan semata-mata mewakili kepentingan pribadi atau pemilik uang. “Pikirkan juga kepentingan kami, yang telah memilih bupati.”
Sementara, Gandi Siregar, warga Kecamatan Muara Batang Toru menceritakan, adiknya, Halomoan Pardosi, termasuk yang diamankan polisi dan disiksa. Tak lama, Halomoan dibebaskan, karena tak terbukti bersalah. “Kabar yang saya terima, dibebaskan tapi muka penuh memar bekas pukulan. Dia juga dipaksa makan kerikil, sampai muntah darah. Dia bersedia bikin surat pernyataan apa yang dia alami,” katanya.
Menurut Hendrik Siregar dari Jatam, kepolisian cenderung hanya mengurisi rusuh yang menyebabkan satu mobil patroli polisi dibakar dan kantor camat dirusak. Masalah utama yang menjadi protes dan pengaduan warga, yakni penipuan data dokumen amdal, seakan terlupakan. “Persoalan masyarakat dikesampingkan. Pemerintah ini memihak investor atau masyarakat?”
Sinung Karto, Kadiv Advokasi dan HAM KontraS dalam laporan kepada Kompolnas, meminta lembaga ini memonitoring dan pemantauan atas kasus di Batang Toru, khusus terkait tindakan kekerasan oleh aparat keamanan dalam merespon penolakan warga. KontraS juga mendesak Polda Sumut membuka akses bantuan hukum kepada warga yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda Sumut.
“KontraS meminta Polda Sumut menghentikan intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang masih berlangsung hingga saat ini,” kata Sinung.
Hal serupa diminta KontraS dalam pengaduan kepada Komnas HAM, 6 November lalu. Ada poin tambahan dalam laporan itu, Komnas HAM juga diminta memonitoring kasus utama proses amdal yang tidak melibatkan partisisipasi masyarakat, dan memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap warga yang mengadvokasi penuntasan kasus ini.
Setelah mendapat laporan warga, Komnas HAM baru rencana turun ke lapangan, Senin(12/11/12), padahal kejadian sudah 30 Oktober 2012. “Warga telah mendatangi Komnas HAM. Kecewa dengan Komnas lambat, baru akan berkunjung ke Medan besok (Senin), padahal kasus sudah lebih dari seminggu,” kata Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi EN Walhi.
Menurut dia, komisioner Komnas HAM, harus bisa membuktikan mereka memang diperlukan untuk mengatasi kasus pelanggaran-pelanggaran HAM di negeri ini. Terlebih, di masa-masa akhir jabatan mereka. “Ini sudah satu minggu warga luntang lantung tak berani pulang, tapi Komnas HAM lambat bergerak.”
Dikutip dari Okezone.com, Kepala Biro Operasional Polda Sumut, Kombes Pol Iwan Hary Sugiarto mengatakan, dari 37 warga yang diamankan, 12 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara untuk mengamankan situasi di Batang Toru, Polda Sumut sudah mengerahkan dua SST (Satuan Setingkat Pleton) Brimob dan 562 personel tambahan dari Polres Tebing Tinggi.
Desak KLH Serius
Dua organisasi lingkungan, Walhi dan Jatam mendesak agar KLH serius mengawasi kasus penipuan data amdal PT AR ini. Walhi meminta, KLH segera mengeluarkan keputusan menghentikan pemasangan pipa air tambang ke Batang Toru, sebagai bentuk pengawasan KLH dan penerapan azas precautionary principle (prinsip kehati-hatian) yang dianut oleh sistem aturan lingkungan hidup.
“KLH tak bisa lepas tangan. Karena telah terjadi pelanggaran serius, ada informasi palsu (dalam dokumen amdal). Kalau di daerah ada tindakan pelanggaran serius, maka (KLH) harus turun tangan pengawasan.,” kata Pius.
Pemberian informasi palsu atau keterangan tidak benar dalam Amdal, kata Pius, jelas tindakan terlarang beradasarkan Pasal 69 ayat 1 huruf j UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran ini, dapat dihukum penjara satu tahun atau denda Rp1 miliar. “Ironisnya, Polda Sumut dan BPLH tidak memproses tindak pidana lingkungan hidup. Justru Polda mengawal pemasangan pipa limbah tambang PT AR ke Batang Toru.”
Senada dengan Walhi, Jatam mendesak KLH segara turun tangan menegakkan hak konstitusi warga atas lingkungan yang sehat. Kewenangan KLH, kata Hendrik, berdasarkan pasal 73 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Menteri Lingkungan Hidup dapat mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang izin lingkungan diterbitkan pemerintah daerah jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.” Hendrik mengutip bunyi UU.
Warga Batang Toru menolak Sungai Batang Toru menjadi tempat pembuangan limbang tambang karena sungai ini penting bagi mereka untuk minum, mandi, memelihara ikan perairan darat. Di bagian hilir Batang Toru, terdapat Danau Siais. Daerah ini dikenal sebagai penghasil ikan sale.
Keberadaan PT AR yang menambang bijih Emas di Kecamatan Batang Toru sejak 15 tahun lalu, dan tak pernah mendapat perlawanan warga. Saat ini menuai protes keras dari elemen masyarakat yang berasal dari tiga kecamatan yakni Kecamatan Batang Toru, Kecamatan Muara Batang Toru, Kecamatan Angkola Sangkunur di Tapsel serta Desa Batumundam Kecamatan Singkuang, Kabupaten Mandailing Natal.
Perjuangan warga menyelamatkan sungai penting selebar 98 meter ini, di kawasan hutan lestari Batang Toru diabaikan oleh pemerintah. Amdal perusahaan tambang emas PT AR menyatakan Sungai Batang Toru tidak digunakan sebagai air minum. Informasi ini bertentangan dengan kenyataan di lapangan.
Penolakan warga atas pembuangan air limbah tambang ke Batang Toru telah disampaikan termasuk kepala-kepala desa yang terdampak, seperti Desa Muara Hutaraja, Desa Bandar Hapinis dan Desa Terapung Raya kepada Bupati Tapanuli Selatan. Baik tertulis maupun aksi unjuk rasa.
Namun teriakan dan protes warga seakan membentur tembok baja alias tidak dihiraukan pemerintah daerah. Bahkan, pemda tampak kuat memaksakan agar limbah bisa dibuang di Sungai Batang Toru. Entah apa sebabnya.
Ketidakpedulian pemerintah inilah yang mendorong kemarahan warga, yang dihadapi dengan tindakan represif oleh Kepolisian Sumut.
sudah saatnya polisi di usut karena kasus seperti ini. ini merupakan kerja yang buruk dan melanggar ham. bilangnya melayani masyarakat tapi akhirnya menyiksa masyarakat. kalau begini terus, bagaimana masyarakat mau percaya terhadap polisi.
komnas ham dmna ko diam aja.?,mreka manusia knp asal pkul aja aprat ini,yg yg tk brslah ditindas,seandai nya tmbang mas dpt hasil yg mkn siapa,.?psti org luar negri tp skit ny sma msyarakat,smpe msyarakat ktakutan,,mreka manusia tlong hargai mreka,mkanya klo milih pmimpin hrus yg mbela masyarakat,,,dewan jg tk mau tau,,,,klo dlu wktu pmlihan banyak omong skrang msyarakat di tindas diam aja,,!,tak mau tau tntang nasib masyarakat