Arsip

29 Tahun Institut Dayakologi

Advertisement

PONTIANAK – “Bangkit dan Bersatu dalam Solidaritas Kemanusiaan Sejati”. Semakin brilian dan bermartabat. “Peradaban besar tidak dibunuh. Mereka mencabut nyawanya sendiri“ (Arnold Toynbee) suatu ketika. Sejak didirikan 29 tahun lalu, Institut Dayakologi (ID) bersama Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) meletakkan fondasi sekaligus posisinya sebagai wadah perjuangan bersama Masyarakat Adat ‘Dayak’, Komunitas Lokal dan Masyarakat tertindas pada umumnya agar bangkit dan mampu menentukan dan mengelola kehidupan dalam kebersamaan dengan semagat cinta kasih hingga bermartabat secara Sosial Budaya, Mandiri secara ekonomi, Berdaulat secara Politik dan Berkesinambungan.

Visinya itu memiliki dasar historis di mana keterpurukan identitas budaya dan penetrasi pengaruh budaya modern dan pembangunanisme telah mengancam harkat dan martabat Masyarakat Adat Dayak. Padahal, suatu identitas dan martabat akan sangat menentukan masa depan dan eksistensi Dayak di masa depan.

Sehubungan dengan itu, Institut Dayakologi dari masa ke masa mengemban mandat melakukan revitalitasi dan advokasi kebudayaan Dayak demi menegakkan dan menegaskan identitas ke-Dayak-an, sebagai representasi dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dunia, agar memilki harkat, derajat dan martabat yang setara dengan kelompok masyarakat umumnya di Indonesia dan dunia.

Advertisement

Mandat & karya

Tantangan kebudayaan dari masa ke masa juga mengalami perubahan. Politik identitas tidak sepenuhnya lagi berada dalam ruang-ruang ideologis, karena mulai dipengaruhi oleh banyak faktor luar, yang di samping saling kontra ideologis, juga cenderung pragmatis.

Jika sebelumnya mandat ID lebih fokus pada kerja-kerja revitalisasi, advokasi, riset dan menjadi pusat informasi kebudayaan Dayak, maka sejak 2018, untuk menjawab tantangan pergeseran nilai budaya akibat tergerusnya sumber-sumber identitas budaya di satu sisi, dan semakin jauhnya generasi milineal dari identitas budayanya, maka ID memposisikan diri sebagai Pusat Advokasi dan Transformasi Kebudayaan Dayak serta Masyarakat Adat umumnya di Kalimantan.

Salah hal yang patut dibanggakan adalah ID bersama GPPK menemukan manifestasi visinya dalam konsep revitalisasi budaya melalui gerakan pemberdayaan holistik yang aplikatif dan berkontribusi langsung bagi komunitas adat di tingkat basis, kelompok masyarakat sipil dan jaringan CSO, pemerintah hingga jaringan internasional.

Di antara kebanggaan itu ialah Komunitas Tiong Kandang (Ketemenggungan Tae) dan Komunitas Tampun Juah (Ketemenggungan Sisang, Bi Somu dan Iban Sebaruk), Kabupaten Sanggau.

Dalam konteks transformasi yang bisa diartikan sebagai upaya menguniversalkan dan menkontekstualkan nilai-nilai universal kearifan lokal kebudayaan Dayak dalam kondisi kekinian sebagai anti-tesis globalisasi. Oleh karenanya, ID memperkuat kerja-kerja glokalisasi yakni mengkontribusikan nilai-nilai kearifan budaya lokal bagi universitas peradaban dunia.

ID juga memperkenalkan Sapta Basa (7 nilai universal Kebudayaan Dayak) sebagai basis transformasi kebudayaan Masyarakat Adat Dayak agar berkontribusi secara lebih nyata dalam membangun peradaban dan perdamaian yang inklusife.

Kita mengapresiasi komunitas Adat Dayak di berbagai daerah, secara serempak merespon ancaman wabah Covid-19 dengan melaksanakan ritual adat untuk menangkal mara bahaya menurut kearifan di komunitas masing-masing, Sejauh ini komunitas tetap aman dan dalam semangat kebersamaan mampu menghidupkan kembali ritualnya.

Hari ini, 21 Mei 2020, ID dan seluruh aktivis serta komunitas dampingannya bersyukur.

Krissusandi Gunui’, Direktur Eksekutif ID juga menyatakan bahwa perjalanan hingga usia 29 tahun bukanlah sesuatu yang gampang. Banyak tantangan menghadang.

“Kita tahu begitu banyak organisasi didirikan, namun acapkali kehilangan roh gerakannya karena tak sanggup beradaptasi, atau ketiadaan sosok patron yang bisa jadi rujukan dan teladan. Atau organisasi tersebut didirikan hanya sebatas bersifat progamatik based,” ujarnya saat memberikan refleksi singkat.

Dia menambahkan bahwa ID didirikan membawa visi besar yang bukan hanya bertanggug jawab secara organisatoris sebagai sebuah lembaga, tetapi kepada komunitas dan public umumnya dalam melahirkan sebuah model gerakan pemberdayaan kebudayaan yang anti-mainstream, tidak konvensional.

ID tetap berpegang teguh dengan pandangan bahwa kebudayaan bukan hanya menentukan nilai, identitas dan eksistensi, tetapi juga martabat kaum bangsanya (John bamba, 2019), terutama orang Dayak itu sendiri.

Release ID tersebut juga menuliskan bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan menghormati sejarah serta tidak meninggalkan identitas serta akar budayanya, agar menjadi bangsa yang berkharakter dan inklusif; yang tidak usang atau luntur ditelan zaman.

Dalam misi kemanusiaannya, ID merujuk pada nilai-nilai universal kebudayaan Dayak berbasiskan kearifan lokal, dengan tujuan agar Masyarakat Adat Dayak mampu masuk di ruang-ruang publik yang lebih luas, mengambil peran, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan dan menentukan langsung masa depannya dengan cara-cara yang bermartabat dan beradab.

Masyarakat Adat Dayak harus berkontribusi secara nyata membangun peradaban dunia dalam semangat cinta kasih dan solidaritas untuk kemanusiaan yang sejati. Maka, di sinilah relevansi tema ulang tahun yang ke- 29 ini, “Bangkit dan Bersatu dalam Solidaritas Kemanusiaan yang Sejati”.

Tema ini mencerminkan cita-cita besar untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang bermartabat, mandiri dan berdaulat secara inklusif. Oleh karena itu, ID akan terus memperkuat ekistensi Masyarakat Adat melakui kerja-kerja advokasi, memelihara perdamaian dan peradaban universal melalui kerja-kerja transformasi. Kiprahnya tersebut akan terus dipertahankan, bergerak melangkah dengan selalu melakukan adaptasi ke depannya.

Cikal bakal ID, bermula tahun 1986-1987, ketika didirikan kelompok studi yang beranggotakan sejumlah intelektual muda Dayak asal pedalaman yang berada di Pontianak. Kelompok studi itu berperan sebagai Biro Penelitan dan Pengembangan di Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang didirikan dan berkegiatan sejak 1981. Tugas utamanya adalah melakukan kajian kritis terhadap situasi Masyarakat Adat Dayak yang sangat termarginalkan pada rezim Orde Baru kala itu, memberikan masukan strategis dan taktis kepada yayasan terkait solusi atas berbagai masalah yang dihadapi Masyarakat Adat Dayak.

Kini ID adalah sebuah lembaga yang mandiri, memliki keluarga besar dan tanggung jawab yang juga sangat besar di tengah-tengah gerakan social dan pemberdayaan. Tantangan tidak pernah mati hingga suatu kebudayaan dan peradaban menemukan jalan perubahannya sendiri. Sebagaimana diingatkan oleh Jared Mason Diamond, bahwa peradaban bisa punah karena perubahan iklim, degradasi lingkungan, wabah dan konflik kepentingan sosial-budaya, politik dan ekonomi. Menurutnya, salah satu faktor penyebab keruntuhan dan kehancuran terbesar sejarah peradaban kemanusiaan adalah konflik kepentingan yang terintegrasi dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Demi menjaga eksistensi dan keberlanjutannya, ID sangat penting menjaga, merawat kebersamaan (solidaritas), soliditas dengan memusnahkan egoisme, menghilangkan sekat sektoral dan kepentingan pribadi dan kelompok.

“Dalam situasi ini, semoga organisasi, aktivis dan komunitas dampingan, dengan kebersamaan dan berlandaskan kearifan lokal dapat bangkit dan bersatu untuk persaudaraan kemanusiaan yang sejati,”harap Gunui’. (KG, 21/5/2020).(Rilis/Red).

Advertisement