Arsip

Penindakan 6 Peladang Menyeret Perasaan Ratusan Ribu Peladang

Advertisement

SINTANG – Agar segala sesuatu tidak terjadi di luar kendali, sejumlah pihak menyerukan, selain melalui advokasi hukum sebagai jalur ketatanegaraan, agar advokasi massa yang juga dijamin secara demokrasi, terhadap pembebasan ke enam peladang yang sedang bersidang dibebaskan secara murni tanpa embel-embel bersalah, terus disuarakan.

Bahkan Pengurus Persatuan Peladang Tradisional juga menemui langsung pejabat di Kemenkopolhukam baru-baru ini. Mereka meminta hentikan kriminalisasi terhadap peladang, dan mari berdiskusi mencari jalan terbaik ke depan.

Sementara itu, Juru bicara ASAP, Joy Lukas juga dengan tegas menyampaikan “kami meminta jaksa dan hakim mengedepankan asas opurtinitas hukum dalam memutuskan perkara ini. Hakim dan jaksa harus memahami kalau kasus ini berpeluang memicu kemarahan kolektif kaum peladang. Sesuatu yang apabila diabaikan pasti akan berdampak buruk pada stabilitas keamanan dan ketertiban umum. Kemarahan yang apabila dibaikan akan bisa mempermalukan bangsa ini. Kami tegas meminta, bebaskan ke-6 orang tersebut.” tutupnya dengan tegas.

Advertisement

Terlepas dari kepentingan apapun, juga yang menjadi dasar kekecewaan sebagian besar masyarakat adalah; Bagi masyarakat Dayak maupun non Dayak yang masih hidup dengan cara berladang ini adalah badai persoalan terbesar yang mereka hadapi, karena ini bukan masalah pribadi ke enam orang peladang tersebut melainkan persoalan serius masyarakat Dayak dan non Dayak yang tuntutan hidup mereka harus dipenuhi dengan salah satunya berladang.

Ini membuat persoalan semakin serius karena pernyataan hukum dengan menindak ke enam peladang itu dapat memberi makna bahwa berladang oleh ribuan kepala keluarga dianggap salah.

Yang artinya ketika enam peladang diputus bersalah dan menjadi terpidana maka itu menjadi kekerasan fisik dan kekerasan verbal bagi ke enam peladang dan kekerasan verbal bagi ratusan bahkan jutaan anak bangsa ini yang satu-satunya masih hidup dengan cara berladang. Jadi ini bukan lagi tentang berapa lama mereka dihukum melainkan efek dari putusan hukum tersebut terhadap aktivitas berladang.

Jelas, persoalan hukum terhadap ke enam leladang ini menguras banyak energi, waktu, dana, pikiran dan perasaan banyak pihak yang terlibat serius di dalamnya, tapi itu tidak akan masuk hitungan para pihak, karena tujuannya untuk kebaikan.

Proses hukum sedang berlanjut. Senin, 24 Februari 2020 adalah mendengarkan pembelaan (pledoi) penasehat hukum terhadap enam peladang di PN Sintang. Dan dapat diperkirakan, Rabu atau Kamis akan sidang kembali mendengarkan jawaban jaksa (replik) atas pledoi yang telah disampaikan penasehat hukum. Saat sidang Senin ini akan lebih jelas lagi mengenai jadwal sidang berikutnya. Kemudia awal Maret Pengadilan Negeri Sintang diperkirakan sudah memutus perkara ini.

Berladang itu tidak hanya bicara adat dan kebudayaan serta kearifan lokal, tapi substansi pokoknya adalah, berladang itu satu-satunya pilihan hidup saat ini dalam memproduksi padi menjadi nasi untuk makan satu tahun bahkan bisa lebih, bagi mereka yang dihadapkan dengan pilihan berladang atas kondisi hidup itu. Mereka tidak akan berladang kalau ada usaha lain yang lebih menjamin, mereka belum tentu berladang lagi kalau pendidikannya sudah strata satu. Yang tamat SMP saja sudah banyak yang tidak mau berladang. Jadi pemerintah harus bangun cara pandangnya seperti itu terhadap mereka yang masih berladang. Bukan dengan cara sudut pandang disalah dan dihukum.”

Tapi satu keyakinan, hukum akan bertindak bijaksana. Karena ini persoalan enam orang yang mewakili jutaan hak dan hati anak Indonesia yang namanya Dayak maupun non Dayak yang dilahir tanpa meminta harus hidup dengan cara berladang dari semula. (Red).

Advertisement