Arsip

Banyak Pelangar Hukum Karena Pembiaran dan Tidak Ada Sanksi Konkret

Advertisement

PONTIANAK – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji mengaku prihatin dengan maraknya pelanggaran terhadap aturan hukum yang terjadi saat ini. Menurutnya hal tersebut terjadi karena banyak pembiaran terhadap pelanggaran tanpa ada sanksi yang konkret.

Kebiasaan terhadap pelanggaran tersebut, kemudian mempengaruhi moral masyarakat secara umum, khususnya generasi muda. Seperti yang baru-baru ini terjadi kasus perusakan kendaraan oleh seorang pemuda yang tak terima ditilang oleh polisi.

“Pelanggaran aturan hukum yang dibiarkan akhirnya membuat aturan hukum itu tidak lagi dianggap sebagai aturan. Itu penyebabnya,” katanya saat menjadi pembicara diskusi publik pendidikan Pancasila demi terciptanya moralitas generasi milenial di Fakultas Hukum, Untan, Kamis (14/2).

Advertisement

Jika sudah demikian lanjut dia, ketika atuan harus ditegakkan maka masyarakat yang sudah terbiasa dengan pelanggaran justru menganggap itu membelenggu kebebasan. Karena memang, awalnya sudah terbiasa melanggar dan tidak pernah mendapat teguran dan sanksi.

“Nah jangan sekali-kali membiarakan pelanggaran hukum terjadi terus-menerus apalagi kalau sampai sistematis, maka ketika akan ditegakan aturan hukum itu munculah istilah kriminalisasi. Dan banyak alasan untuk dicari pembenarnya,” ujarnya.

Sebagai pimpinan daerah, Midji sapaan akrabnya berkomitmen untuk selalu menegakkan aturan yang ada. Itulah mengapa ketika masih menjabat sebagai wali kota, dalam satu tahun ia bisa memberikan sanksi kepada sekitar 1.400 pelanggar peraturan daerah (perda).

“Bahkan kepala dinas saya tilang, karena saya tidak mau pelanggaran aturan dibiarkan, sehingga suatu waktu orang anggap itu bukan pelanggaran lagi. Itulah yang terjadi,” ucapnya.

Selain itu ia juga menyoroti fenomena pelajar yang tak segan melakukan kekerasan terhadap tenaga pendidik di sekolah. Kasus-kasus seperti ini menurutnya baru mencuat di era pasca reformasi. Jika banyak yang menganggap itu karena maraknya media sosial, Midji beranggapan justru tidak. Hal tersebut terjadi memang karena adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang seperti itu.

“Ketika ada anak di bawah umur melakukan tindakan sampai menghilangkan nyawa orang, lalu biasanya KPAI beralasan masih di bawah umur dan lain sebagainya. Tidak ada aturan ini itu dan sebagainya,” paparnya.

Padahal di negara maju Midji mengatakan, ketika hak asasi orang dihilangkan oleh siapapun, tanpa memandang umur sanksi tetap diberikan. Sementara di Indonesia sebaliknya, sanksinya sangat ringan hingga akhirnya anak menganggap hal itu sepele.

“Hukum tanpa sanksi itulah akibatnya. Aturan banyak tapi tak pernah diimplementasikan dengan baik. Tidak untuk menyalahkan generasi milenial, tapi harus ada reposisi dalam memberikan pemahaman aturan hukum pada mereka,” pungkasnya. (Red).

Advertisement